Monday, February 4, 2019

Wajah Pers di Era Reformasi (Sebuah Tinjauan Kritis)


By: La Ode Montasir
Pers merupakan salah satu instrument penting dalam perkembangan sebuah negara, pers memiliki pengaruh besar dalam dalam mengontrol serta membentuk opini dan persepsi warga negara sebagaimana yang dinyatakan John fiske, dalam konsep “persuasion in matters of opinion & belief  bahwa, pers memiliki power yang luar biasa dalam membentuk opini dan kepercayaan terhadap publik (Fiske, 2004). Dengan demikian, maka tidak heran jika pers dapat mengendalikan opini yang berkembang dalam masyarakat.    
                                     
Bergulirnya reformasi 1998  tampaknya telah  menghadirkan angin segar  bagi masa depan pers Indonesia,  bagaimana tidak selama hampir enam dekade,  yang melintasi dua rezim bercorak militeristik, pers indonesia berada dalam cengkraman dan intervensi penguasa, demikian kuatnya cengkraman dan  intervensi tersebut berakibat pada “lumpuhnya” fungsi kritis dan fungsi kontrol pers itu sendiri, meskipun kondisi tersebut sempat mencair dimasa demokrasi liberal  medio 1955-1959.                                       
Usaha “megapolitisasi” yang dilakukan oleh rezim orde lama dan orde baru terhadap warga negara sukses menyendera pers sebagai  instrument politik praktis, dan berhasil memaksa pers menjelmah sebagai perpanjangan tangan penguasa, kondisi demikian  menjadikan pers tak ubahnya pion kekuasaan yang menyuarakan kepentingan penguasa secara membabi buta. Hingga dalam perkembangannya sejarah kelam tersebut  kemudian berakhir dengan runtuhnya rezim orde baru.                            
Pasca reformasi perkembangan pers demikian menunjukan trend positif, reformasi yang mengakomodir nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan keterbukaan tak pelak semakin menjadikan pers begitu leluasa dalam menyampaikan informasi kepada publik, kondisi tersebut juga di dukung dengan diterbitkannya  pasal 28 F UUD 1945, melalui amandemen kedua, bahwa,” setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran  yang tersedia.”
Demikian bebasnya penyaluran informasi  dalam periode awal reformasi, menarik minat banyak pemodal untuk ikut begelut dibidang media massa, kondisi tersebut berakibat menjamurnya media massa bak cendawan dimusim hujan. Dalam periode ini media massa benar-benar merupakan lahan bisnis yang sangat menggiurkan.                                        
Dalam perkembangannya kondisi demikian rupanya melahirkan problematika baru dalam tubuh pers itu sendiri, orientasi pers yang terlampau komersil, berakibat pada terganggunya independensi dan netralitas pers dalam menyampaikan informasi. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan keterlibatan pers dalam suksesi kepemimpinan baik lokal maupun nasional, kaitannya dengan ini keterlibatan pers yang dimaksud bukannya sebagai kontrol sosial sebagaimana yang diamanatkan undang-undang dalam pasal 33 UU No. 40 tahun 1999 tentang fungsi pers, akan tetapi kehadiran pers cenderung sebagai “juru kampanye” dalam usaha pemenangan kandidat pemilu. Sehingga pada akhirnya informasi yang disuguhkan bukannya mengarah pada usaha pencerdasan dan pencerahan publik, akan tetapi lebih pada informasi yang profokatif destruktif yang cenderung mengipas-ngipasi konflik horizontal antar kelompok dalam masyarakat.