By: La Ode Montasir
Pers merupakan salah satu instrument penting dalam perkembangan sebuah negara, pers
memiliki pengaruh besar dalam dalam mengontrol serta membentuk opini dan persepsi
warga negara sebagaimana yang dinyatakan John fiske, dalam konsep “persuasion
in matters of opinion & belief bahwa, pers memiliki power yang
luar biasa dalam membentuk opini dan kepercayaan terhadap publik (Fiske, 2004).
Dengan demikian, maka tidak heran jika pers dapat mengendalikan opini yang
berkembang dalam masyarakat.
Bergulirnya reformasi
1998 tampaknya telah menghadirkan angin segar bagi masa depan pers Indonesia, bagaimana tidak selama hampir enam
dekade, yang melintasi dua rezim
bercorak militeristik, pers indonesia berada dalam cengkraman dan intervensi
penguasa, demikian kuatnya cengkraman dan
intervensi tersebut berakibat pada “lumpuhnya” fungsi kritis dan fungsi
kontrol pers itu sendiri, meskipun kondisi tersebut sempat mencair dimasa
demokrasi liberal medio 1955-1959.
Usaha “megapolitisasi”
yang dilakukan oleh rezim orde lama dan orde baru terhadap warga negara sukses
menyendera pers sebagai instrument
politik praktis, dan berhasil memaksa pers menjelmah sebagai perpanjangan
tangan penguasa, kondisi demikian menjadikan
pers tak ubahnya pion kekuasaan yang menyuarakan kepentingan penguasa secara
membabi buta. Hingga dalam perkembangannya sejarah kelam tersebut kemudian berakhir dengan runtuhnya rezim orde
baru.
Pasca
reformasi perkembangan pers demikian menunjukan trend positif, reformasi yang
mengakomodir nilai-nilai kebebasan, kesetaraan dan keterbukaan tak pelak
semakin menjadikan pers begitu leluasa dalam menyampaikan informasi kepada publik,
kondisi tersebut juga di dukung dengan diterbitkannya pasal 28 F
UUD 1945, melalui amandemen kedua, bahwa,” setiap orang berhak berkomunikasi
dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan mengungkapkan segala jenis saluran yang
tersedia.”
Demikian
bebasnya penyaluran informasi dalam
periode awal reformasi, menarik minat banyak pemodal untuk ikut begelut
dibidang media massa, kondisi tersebut berakibat menjamurnya media massa bak
cendawan dimusim hujan. Dalam periode ini media massa benar-benar merupakan lahan
bisnis yang sangat menggiurkan.
Dalam
perkembangannya kondisi demikian rupanya melahirkan problematika baru dalam
tubuh pers itu sendiri, orientasi pers yang terlampau komersil, berakibat pada
terganggunya independensi dan netralitas pers dalam menyampaikan informasi.
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan keterlibatan pers dalam suksesi
kepemimpinan baik lokal maupun nasional, kaitannya dengan ini keterlibatan pers
yang dimaksud bukannya sebagai kontrol sosial sebagaimana yang diamanatkan
undang-undang
dalam pasal
33 UU No. 40 tahun 1999 tentang fungsi pers,
akan tetapi kehadiran pers
cenderung sebagai “juru kampanye” dalam usaha pemenangan kandidat pemilu.
Sehingga pada akhirnya informasi yang disuguhkan bukannya mengarah pada usaha
pencerdasan dan pencerahan publik, akan tetapi lebih pada informasi yang profokatif
destruktif yang cenderung mengipas-ngipasi konflik horizontal antar kelompok dalam
masyarakat.