Relasi
antara media dan negara dalam sistem demokrasi modern merupakan pola relasi
yang bersifat dinamis, oleh karena itu hubungan tersebut dapat mengalami
kondisi pasang-surut. Disatu waktu media dapat menjadi alat pemerintah dalam
membangun hegemoni terhadap warga negaranya, sedangkan dilain waktu media juga
dapat berperan sebagai New Hope yang
mampu menggerakan perubahan dan menginisiasi reistensi
terhadap status quo. Ihwal tersebut sesuai dengan argumentasi Giddens dalam (Ashaf, 2006) bahwa “negara” dan
“masyarakat” adalah
social practice. utamanya apabila “negara” dipahami sebagai struktur dan “masyarakat” sebagai agensi dimana
media
adalah salah satu
bagian dari elemen di dalamnya. Singkatnya hubungan antara media dan negara adalah
hubungan yang bersifat dialektis.
Pola hubungan antara
pemerintah dengan pers di era reformasi adalah hubungan yang dialektis, media
secara independen bisa menentukan keputusan untuk menjadi partisan atau
mengambil peran sebagai oposisi dari kelompok vested
interest. Pada tataran empirik dewasa ini sebagian besar pers di Indonesia utamanya kelompok arus utama cenderung mengambil
peran kooperatif yakni menjadi bagian dari status quo, namun hal tersebut tidak
menandaskan posisi pers sebagai bidak yang menjalankan agenda penguasa dibawah
intervensi dan intimidasi. Akan tetapi penetrasi pers dalam lingkaran kekuasaan
tersebut cendurung sebagai tindakan rasional
instrumental yang berorientasi pada kepentingan pragmatism dan oportunism,
kesimpulannya keterlibatan pers dalam di panggung kekuasaan adalah sebagai
kroni dilakukan atas dasar untuk
mewujudkan agenda pribadi dari media itu sendiri.
Seringkali perilaku
oportunism yang ditunjukkan media dipanggung politik, tidak terlepas dari
kepentingan pragmatis dari pemilik media itu sendiri, kondisi tersebut
menyebabkan media terjebak dalam dilema antara memenuhi kebutuhan informasi
publik atau menyampaikan informasi yang memenuhi tuntutan kepentingan bisnis
dengan penguasa, sehingga kerapkali media menjatuhkan pilihan pada opsi kedua
yang tentu saja secara ekonomis jauh lebih menguntungkan. Kondisi tersebut berakibat
pada terjadinya penyeleksian informasi dimana media cenderung hanya
menyampaikan informasi yang mengakomodir
kepentingan kerjasama dengan dengan penguasa, alhasil media kehilangan
idealismenya di panggung politik dan tampil layaknya sebagai juru kampanye. Sebagiamana di jelaskan oleh Dosen Departemen Komunikasi Massa Fikom Unpad Dr. Hj. Siti Karlinah, M.Si (dalam unpad.ac.id, 2017) bahwa, “kepentingan
ekonomi menjadikan media kerap mengabaikan kepentingan publik. Hal ini terjadi
pada sebagian besar media yang mengabaikan idealismenya demi mementingkan aspek
bisnis atau politik kondisi ini berimbas pada gatekeeper
(penyeleksian informasi) masing-masing media dalam menjalankan
fungsinya. Di satu sisi dia harus memenuhi kepentingan pemilik media, di sisi
lain dia harus memenuhi tanggung jawabnya pada khalayak”.
Tidak bisa dipungkiri
penetrasi pemilik media dipanggung politik praktis telah menggerus idealisme,
netralitas, dan obyektifitas informasi yang sampaikan media kepada publik,
suguhan informasi yang bernuansa provokatif
senantiasa dipertontontokan dihadapan khalayak, kondisi tersebut semakin parah
terjadi di tahun-tahun politik, ketika akan atau sedang berlangsung suksesi
kepemimpinan baik ditingkat nasional atau di tingkat lokal. Secara umum aktivitas
tersebut dapat diidentifikasi dalam bentuk pemberitaan yang menyudutkan
kandidat pemilu dan acapkali obyek tersebut adalah oposisi, dengan aneka jenis
kampanye hitam baik secara terang terangan maupun secara terselubung.
Ihwal tersebut secara
gamblang dapat dilihat pada judul berita yang disadur dari beberapa media
nasional berikut ini
- Tempo.co, Kamis, 15 November 2018 16:07 WIB: Titiek Janji Bila Prabowo Menang RI Akan Seperti Era Soeharto.
- Tempo.co Sabtu, 17 November 2018 18:09 WIB : Ziarah ke Makam Abah Sepuh, Prabowo Lakukan Hal Tak Lazim.
- Kompas.com 15/11/2018, 09:03 WIB : Permintaan Maaf Prabowo-Sandiaga yang Disoal Tim Jokowi-Ma'ruf.
- Tempo.co, Minggu, 18 November 2018 : Ketika Demokrat dan Gerindra Saling Tuding Ihwal Janji Kampanye.
- Tempo.co, Selasa, 13 November 2018 10:53 WIB: Tiga Tanda Ketidakharmonisan Partai Koalisi Prabowo – Sandiaga.
- Berita satu.com, Sabtu, 3 November 2018 pukul 13:51 WIB: TKN Sayangkan Pernyataan Rasis Prabowo.
- ·Berita satu.com, Senin, 12 November 2018 pukul 18:45 WIB: TKN Curigai Blusukan Sandiaga Adalah Settingan.
- ·Berita satu.com ,Rabu, 14 November 2018 pukul 14:51 WIB : TKN: Prabowo-Sandi Jangan Budaya Masyarakat yang Pemaaf.
- ·Kumparan.com 17 November 2018 12:29 WIB, Perindo: Prabowo-Sandi Sering Buat Gaduh, Mereka Kelabakan Sendiri.
- ·Media Indonesia.com, Jumat, 16 Nov 2018, 20:40 WIB : Prabowo Dinilai tidak Serius Nyapres.
Presentasi diri pers
nasional dewasa ini yang tak ubahnya sebagai pamflet penguasa, berakibat
melahirkan “polusi” informasi diruang publik yang teramat parah. Suguhan Informasi yang ditampilkan bersama aneka
bentuk framing dan interpretasi semakin mengaburkan batasan antara fakta dan
opini. Kondisi ini pada gilirannya kian menggerus kepercayaan publik terhadap
pers nasional, ikhwal tersebut kian diperparah dengan aksi boikot atau blackout terhadap informasi yang
dianggap bertentangan dengan kepentingan pragmatis dan ideologis yang mereka
anut.