Friday, February 22, 2019

Problematika Generasi Milenial di Era Digital




Oleh
La ode Montasir

Generasi Milenal dan Determinasi Teknologi Digital        
 Geliat perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat diabad ini, telah membawa berbagai pengaruh yang amat signifikan terhadap kehidupan umat  manusia. Baik yang Tua, muda, bahkan balita sekalipun tidak dapat luput dari jangkauannya. Dinamika perkembangan masyarakat kontemporer telah menghasilkan capaian yang sangat membanggakan sekaligus mengkhawatirkan. Sisi positif dari pencapaian tersebut di identifikasi pada matra kehiduap materiel dengan suguhan aneka fiture yang amat memudahkan dan memanjakan manusia dalam menjalankan roda kehidupannya dimuka bumi. Namun pada sisi lain yang juga sebagai kontras dari ihwal tersebut tersenandung problematika serius yang secara konkreet dapat di identifikasi pada ranah kehidupan non material utamanya menyangkut hal-ihwal sifat, karakter dan moral umat manusia. Dalam term sosiologis, hal ini dikenal dengan istilah, westernistik, hedonistik, konsumeristik, narsistik, chauvistik, dsb.



 Sampai dengan saat ini perkembangan teknologi dan informasi telah sampai pada era digital. Yang diidentifikasi sebagai suatu bentuk kehidupan  yang dimana manusia dapat saling berinteraksi dengan sangat mudah meskipun saling berjauhan, era dimana akses informasi dapat diperoleh dengan sekejap mata meski terpisah jarak ribuan kilometer. Kehidupan dimana manusia menjadi candu teknologi yang sangat akut dan teramat parah. Dalam realitas ini kehidupan manusia di era digital benar-benar  berlangsung dibawah otoritas peralatan dan teknologi digital yang super canggih.  Lazimnya Generasi yang hidup dan bertumbuh di era teknologi digital dinamakan sebagai generasi milenial. Generasi milenial adalah sebuah generasi yang ditandai dengan  ketergantungan yang amat kuat dan besar pada teknologi Internet. Hari-hari di kehidupan mereka dihabiskan di depan layar komputer dan gadget. Sebagian besar interaksi yang mereka jalani bersifat semu sehingga generasi ini benar-benar tumbuh menjadi manusia yang individualistik. Ericsson Dalam laporannya perihal pola perilaku generasi milienial masikini, menandaskan bahwa jumlah konsumen layanan video streaming dikalangan remaja  kian meningkat dan tak terbendung dari hari kehari , dalam temuannya  tersebut ia mencatat konsumen layanan video streaming dikalangan remaja pada rentang usia 16-19 tahun, di tahun 2011 hanya bekisar 7% dan waktu yang dihabiskan untuk aktivitas tersebut rata-rata 3 jam sehari tetapi di tahun 2016 angka tersebut bertambah  dengan sangat signifikan menjadi 20% dan waktu yang dihabiskan juga mengalami peningkatan menjadi 9-10 jam perhari. (Ericsson, dalam https://www.kominfo.go.id, 2016).  Masih dalam laporan yang sama, juga dijelaskan bahwa generasi milenial mengalami syindrom ketergantungan yang amat parah pada media sosial, utamanya kaitannya dalam mengakses informasi dan berita-berita aktuil, tingkat kepercayaan  terhadap informasi media sosial sangatlah tinggi. Dalam pada itu zakiyyudin Baidhawi dalam (http://radarsemarang.com,2018) juga mengidentifikasi karakteristik generasi milenial dalam 7 sifat atau perilaku yaitu “Pertama lebih mempercayai informasi yang bersifat interaktif daripada informasi searah, kedua cenderung memilih ponsel/gawai ketimbang TV, ketiga akun media social wajib dimiliki, keempat cenderung kurang tertarik (baca; malas) membaca secara konvensional, kelima memliki pengetahuan lebih tentang  teknologi dibanding orang tua mereka, keenam cenderung tidak loyal namun bekerja efektif, terakhir generasi millenial mulai banyak melakukan transaksi secara cashless”.

Dari temuan tersebut dapatlah kita mengabstraksikan bentuk kehidupan generasi milenial yang  internalized dengan kecanggihan  teknologi  digital masa kini dan sangat dominan dijalani pada ruang maya internet yang semu, kondisi tersebut tentunya akan sangat mempengaruhi watak, karakter serta kepribadian mereka. Selanjutnya Dapat pula dibayangkan bahwa determinasi teknologi digital  dalam kehidupan manusia mengubah mereka menjadi individu yang introvert, minim bahkan zonder pengetahuan dan pengalaman terhadap etika pergaulan bersama dengan banyak orang dalam realitas kehidupan yang nyata. Pada tataran empirik Betapa lompatan kuantitaif dalam candu teknologi digital yang dipaparkan oleh data ericsson tersebut nampaknya tidak sejalan  dengan perkembangan kualitas karakter dan moral individu yang terjadi dewasa ini.

Refleksi Perilaku Generasi Milenial Dalam Dunia Pendidikan                              
Tidak dapat dipungkiri, ragam dampak dari perkembangan teknologi digital yang begitu pesat dewasa ini juga telah menjamah ranah pendidikan kita, baik pada tataran mikro, meso maupun ditingkat makro. Tampak tidak terhitung lagi ramainya hingar-bingar keluhan, dan gerutu dari banyak orang tentang perbedaan sifat dan perilaku antara siswa masa kini, dengan siswa siswa tempoe doeloe yang konon terjadi dalam kontras yang amat tajam. Siswa siswi masakini atau generasi milenial cenderung lebih aktiv, atraktif, dan kreatif tetapi juga seringkali nyeleneh, kurang menunjukkan etika sopan santun pada orang yang lebih tua  bahkan tidak jarang  bersikap kurang ajar. Kecenderungan tersebut tentu saja tidak terlepas dari determinasi teknologi digital yang menguasai kehidupan mereka, pemanfaatan teknologi tanpa penyaringan dan kontrol yang tepat, dapat berakibat  menjadi  tidak terkendali, salah kaprah bahkan ugal-ugalan. Kondisi tersebut menyebabkan sifat, watak, dan perilaku yang mereka tunjukkan seringkali menyimpang dari nilai dan norma yang ada, dan acapkali untuk mengukur seberapa besar tingkat penyimpangan yang terjadi tergantung kuantitas informasi destruktif yang telah diserap. Pada kenyataannya mendidik generasi milenial tidak semudah yang dibayangkan, kondisi ini dipicu oleh semakin merosotnya etika dan moral generasi utamanya pada aspek relasi vertikal antara siswa dengan orang tua atau terhadap guru, serigkali kita menyaksikan kasus dan fakta menyakitkan dan memilukan terkait dengan perbuatan Dalam relasi tersebut, dengan beragam motif yang bahkan tidak rasional. Sebagai contoh dapat disimak dalam beberapa cuplikan kasus  yang disadur dari berbagai media berikut ini;
1.   Jawa pos dalam http://Liputan 6.com , 12, Februari 2018, pukul 12.30 WIB ; Sakit Hati ditegur siswa pukul guru seni rupa hingga tewas
2.   http://Cnnindonesia.com, 18, maret, 2018,  pukul 17.46 WIB : Ditegur saat Main HP di Kelas, Murid Pukul Guru dengan Kursi
3.     http://makassar.tribunnews.com, 10, Februari, 2019, Pukul 15,20 WITA : Video Viral Siswa Pukul Guru di Kelas Karena Ditegur Merokok
4.   http://nakita.grid.id,  29 Oktober 2018 pukul 12:53 WIB : Tak Terima Dimarahi, Seorang Siswa Pukul Kepala Gurunya dengan Tongkat Besi
5.     https://www.inews.id, 21 Februari 2019 pukul  16:59 WIB : Viral, Video Siswa SMK di Yogyakarta Menantang Gurunya di Kelas

Rangkuman kasus diatas hanyalah sedikit dari sekian banyak kasus-kasus serupa yang terjadi dalam masyarakat belakangan ini, kondisi ini tentu saja sangat mengkhawatirkan kita semua utamanya bagi insan pendidik yang mengemban tanggung jawab besar untuk membina dan mengkonstruk karakter, moral dan pikiran yang nantinya bakal menjadi cerminan tingkah laku dalam ruang pergaulan sosial yang mereka jalani . disamping itu fenomena penyimpangan destruktif yang tergambar dalam kasus-kasus diatas juga merupakan ancaman bagi eksistensi bangsa dan negara tercinta diamasa yang akan datang,mengingat generasi muda adalah modal sosial yang menjadi penopang eksistensi sebuah bangsa dalam kerasnya persaingan dan pergulatan antar bangsa pada segala matra kehidupan.
 
Konon Indonesia diprediksi akan memperoleh apa yang disebut dengan  bonus demografi, dimana puncaknya akan terjadi ditahun 2030 yang akan datang. saat itu diproyeksikan populasi usia produktif akan  lebih mendominasi dibandingkan dengan usia non produktif. Populasi penduduk Indonesia pada tahun 2030 diprediksi didominasi oleh mereka yang berusia antara 15 hingga 64 tahun. Sedangkan populasi dominan yang dimaksud saat ini sedang berumur antara 5 sampai dengan 54 tahun.  Jika diklasifikasikan lagi, paling tidak saat ini terbagi dalam tiga kelompok utama, yaitu kelompok anak-anak hingga remaja berusia 3-20 tahun, kemudian kelompok orang muda di usia 20-40 tahun, serta kelompok dewasa pada usia 40-52 tahun. Namun demikian jika hal ini tidak dipersiapkan dengan cukup matang pada akhirnya semua akan menjadi tidak berti apa-apa, sebab ketika merefleksikan kondisi generasi muda kita hari ini rasa-rasanya akan sangat sulit untuk memaksimalkan bonus demografi sebagaimana yang telah dicita-citakan itu.

Referensi