Wednesday, June 24, 2020

Contoh Proposal Penelitian Kualitatif ( Format Lengkap)


Berikut contoh proposal penelitian kualitatif dalam format yang lengkap. Proposal ini hanya diperuntukkan sebagai contoh bagi mahasiswa yang akan menyusun tugas akhir.


https://drive.google.com/file/d/1LYPtUo4cTvwMacuHQeX8UC_SykdMl2-s/view?usp=sharing

Tuesday, June 16, 2020

Refleksi Perjalanan Pandemi Covid 19 di Indonesia : Apatisme publik, Kelompok marginal ganda dan Penguatan modal sosial

La Ode Montasir
Penulis adalah guru bidang studi sosiologi di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kendari

Sunday, March 3, 2019

MANTRA HITAM PROSES PELAYANAN PUBLIK




By: Peribadi dan La Ode Montasir

Kertas Kerja yang dipresentasikan dalam Forum Seminar Nasional telaah kritis Tata kelola Negara dalam Pelayanan Public, 24 November 2018. 

Abstrak. Buruknya pelayanan publik masih menjadi masalah utama yang lazim ditemui dalam sistem birokrasi di Indonesia. Beragam kritik dan keluhan yang dilontarkan masyarakat terkait dengan  kinerja birokrasi di Indonesia telah menjadi rahasia publik sejak lama. Trend pelayanan publik dalam sistem birokrasi di Indonesia lebih menunjukkan pada kondisi empirik yang sangat buruk serta bisa digolongkan dalam sejenis penyakit (bureau patology), layaknya Parkinsonian (big bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan tangan negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic polity). Betapa kecenderungan negatif antithesis dengan keberadaannya sebagai hal yang positif atau rasional (bureau rationality) sebagaimana diharapkan oleh kaum Hegelian dan Weberian.


Kata Kunci. Birokrasi, Pelayanan, Publik dan Mantra Hitam

Prolog. Birokrasi merupakan sarana yang sangat vital dalam menunjang berjalannya sistem pemerintahan, utamannya yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berkenaan dengan ihwal tersebut, maka birokrasi mempunyai fungsi dan andil yang sangat besar dalam proses penyelengggaraan Negara. Secara teoritis birokraksi memiliki fungsi untuk melayani kepentingan masyarakat dengan sebaik-baiknya yang mampu mengahadirkan kepuasan bagi masyarakat. Hal itu ditandaskan oleh Tjiptono (1996) bahwa pelayanan publik yang prima (service excellence) harus mengandung empat unsur, yaitu kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan. Keempat komponen tersebut adalah satu kesatuan yang terintegrasi. Artinya bahwa proses pelayanan publik menjadi tidak “excellence” apabila ada komponen yang masih kurang. Kualitas jasa atau pelayanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat. Hal ini pada akhirnya akan menciptakan loyalitas masyarakat kepada organisasi (institusi). Namun dalam tataran emprik fungsi pelayanan tersebut diliputi oleh berbagai macam problematika, diantaranya adalah buruknya sistem dan proses pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.    
Kondisi tersebut tergambar dalam lambannya proses pelayanan publik, prosedur pelayanan yang berbelit-belit dan tidak transparan, hingga kian diperparah dengan penyalahgunaan wewenang dan jabatan serta geliat korupsi yang dilakukan pejabat publik dengan aneka macam modus operandinya. Buruknya pelayanan publik tersebut pada akhirnya mendorong masyarakat untuk mencari “jalan pintas” dalam menyelesaikan urusan-urusan yang tersangkut paut dengan birokrasi. Utamanya untuk memperoleh pelayanan yang baik dan cepat. Karena itu, upaya “jalan pintas’ yang paling memungkinkan untuk ditempuh masyarakat adalah salah satu melalui sogok atau suap, sehingga menampilkan sektor pelayanan publik sebagai arena suap menyuap yang telah tumbuh dan berkembang subur dengan segala konsekwensinya.
Fenomena suap dalam proses pelayanan publik merupakan salah satu dari sekian jenis penyimpanagan (patologi) dalam birokrasi. Tak bisa dipungkiri aktivitas suap dalam proses pelayanan publik semakin berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Hasil temuan Indonesian Corruption Watch yang menempatkan Apratur Sipil Negara (ASN) sebagai pelaku utama yang dominan dalam kasus korupsi di Negeri ini sejak tahun 2010-2016 tercatat setidaknya sejumlah 3.417 aparatur sipil negara terjerat kasus korupsi di sejumlah daerah di Indonesia. Kondisi ini juga ditunjukkan oleh laporan The Global Competitiveness Report 2016-2017 yang dirilis oleh Forum Ekonomi Dunia bahwa korupsi dan infisensi birokrasi masih menjadi masalah utama  yang menghambat proses investasi di Indonesi. Demikian pula yang lain, juga telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-41 dari 138 negara. Dalam konteks ini, Indonesia berada di bawah negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand (Nasional kompas, 2017).
Tampaknya, masalah gratifikasi, suap menyuap dan pungli dalam proses pelayanan publik merupakan fenomena “gunung es” yang telah mendarah daging dalam sistem birokrasi di Negeri ini. Dewasa ini aksi suap menyuap tampaknya telah menjadi budaya sehingga dalam perkembangannya seolah-olah telah dilegitimasi sebagai kewajiban yang harus ditunaikan dalam rangka untuk memperoleh layanan yang baik dan maksimal.  Aneka modus yang digunakan untuk memaksa klien agar melakukan sogok terus dikembangkan, diantaranya dengan memperlambat proses pelayanan,  mencari berbagai dalih, seperti kekuranglengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih lain berupa kesibukan melaksanakan tugas, sulit dihubungi, atau memperlambat dengan menggunakan kata-kata “sedang diproses”.
A.  Potret Gratifikasi, Suap dan Pungli dalam Sektor Pelayanan Publik
Korupsi merupakan patologi sosial yang seolah-olah telah membudaya di Indonesia. Praktik korupsi bisa dikatakan telah menjangkiti dan terjadi disemua lini kehidupan. Berbagai upaya penanggulangan korupsipun telah dilakukan baik secara preventif maupun dengan cara represif, namun semua usaha tersebut belum mampu mencegah dan mengatasi praktik korupsi yang terjadi. Sektor pelayan publik merupakan merupakan wilayah yang sangat rentan terjadi korupsi.
Sektor pelayanan publik yang berada dibawah pengelolaan pemerintah, baik departemen, lembaga pemerintah non departemen, maupun yang berada dibawah kendali pengelolaan pemerintah daerah, seperti sektor pelayanan pajak, sektor perizinan, sektor investasi, pembuatan KTP, SIM, STNK, IMB,  transportasi, pembuatan akta, pembuatan sertifikat tanah, listrik, air, telepon,  pos, dan lain sebagainya  merupakan ranah yang rentan untuk terjadinya korupsi. Hal itu disebabkan oleh sektor-sektor yang amat berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Dalam sektor pelayanan publik terjadi hubungan antar domain, yakni pemerintah atau birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan, sektor usaha, dan masyarakat umum. Karena itu, adalah tidak mengherankan jika beragam kasus seperti pungutan liar, gratifikasi, dan sejenisnya kerapkali terjadi. Kondisi tersebut pada gilirannya menyebabkan  birokrasi tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien. Atau birokrasi pada akhirnya hanya menjadi abdi  penguasa yang siap menghalalkan segala cara. Korupsi sebagaimana digambarkan oleh Larmour (dalam Fakhturi, 2017) menjauhkan diri dari tipe ideal sebuah negara yang semestinya harus memenuhi fungsi-fungsi keadilan dalam pelayanan publik (the fairness of public service), persamaan terhadap masyarakat (the equality of society), dan kemerdekaan dalam kompetisi ekonomi (the freedom for economic competition)

Korupsi, kolusi, dan nepotisme pada hakikatnya  timbul dari proses interaksi antar aktor dalam domain yang berbeda, misalnya interaksi yang terjadi antara aparat pemerintah dengan pengusaha. Sebagai akibat dari proses intraksi tersebut lahirlah KKN yang diantaranya berupa gratifikasi atau penyuapan  atau sogok  yang kadangkala disamarkan sebagai hibah, hadiah atau sebagai ucapan terimakasih dan cara-cara lain yang tidak dapat di pertanggungjawabkan, sehingga kesemuanya menimbulkan biaya ekonomi yang tinggi (high cost  economy).
Fenomena gratifikasi dan suap atau bahkan pungli yang semakin hari kian menunjukkan potret yang semakin suram dan semakin menggerus ketidak percayaan masyarakat terhadap para pejabat publik, harus dipahami sebagai maslah yang melibatkan dua pihak secara timbal balik atau resiprokal.
Secara bahasa baik gratifikasi dan suap ataupun pungli memiliki definisi yang berbeda. Akan tetapi dalam tataran empirik ketiga hal tersebut seringkali tidak bisa dipisahkan karena dalam implementasinya ketiganya mempunyai kesamaan subtansi yaitu berlaku prinsip simbiosis mutualisme dalam aspek pemberian stimulus dan respon antara aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Praktik grafikasi sangat lumrah ditemukan di kantor-kantor. Fenomena pemberian tip atau amplop pada pertugas  dalam  proses pelayanan publik kerap kali ditemukan. Hal ini dilakukan guna memperlancar setiap urusan yang terkadang sengaja dibuat lamban dan berbelit-belit.
Posisi masyarakat yang lemah kerapkali  dijadikan sasaran empuk oleh oknum petugas yakni sebagai objek  bagi praktik curang di sektor pelayanan publik. Oknum petugas acapkali  bermain dengan memeras oknum masyarakat yang berurusan dengan birokrat. Jika tidak demikian, maka kerap kali masyakat tidak akan memperoleh pelayanan yang semestinya, sehingga mereka mau memberikan “amplop” atau janji tertentu kepada oknum petugas. Jika ada diantara oknum masyarakat atau pelaku usaha yang melakukan penolakan terhadap praktik suap dan sejenisnya, biasanya mereka akan menanggung risiko sebagai akibat dari hal tersebut seperti tidak mendapat pelayanan yang simpatik, prosedur yang berbelit-belit sehingga terasa dipinpong kesana kemari, rugi waktu, rugi tenaga dan rugi biaya atau bahkan  kalah dalam persaingan bisnis.  
Keluhan yang sama juga dilayangkan pada proses pelayanan publik  yang bersentuhan dengan aparat penegak hukum, utamanya pihak kepolisian, dan kejaksaan. Yang mana berbagai kasus praktik jual beli hukum dan keadilan kerap kali terjadi, sehingga kondisi tersebut  mengakibatkan masyarakat menjadi  bersikap apriori dan skeptis ketika berurusan dengan aparat penegak hukum. Begitu sulit bagi masyarakat kecil untuk memperoleh akses keadilan, tanpa embel-embel gratifikasi dan amplovisme,  apalagi ketika dihadapkan dengan kasus  hukum dengan oknum pejabat, atau orang berduit.  karena faktanya kerap kali hukum seolah tidak berdaya ketika berhadapan dengan uang dan kekuasaan.
Lebih jauh fenomena suap dalam proses pelayanan publik dapat ditelusuri secara kasuistik melalui media massa atau laporan masyarakat. Berdasarkan fakta empirik kasus suap dalam proses pelayanan publik dapat diidentifikasi terjadi pada lingkup kelas “esek-esek” sampai dengan kelas elit yang melibatkan oknum pejabat teras dan kepala daerah dengan nominal yang sangat fantastis.  Beberapa contoh kasus dapat dilihat pada rangkuman dari berbagai upaya suap di berbagai daerah yang dirilis oleh berbagai media lokal dan nasional berikut ini:
1.      Kasus suap yang melibatkan tiga orang pegawai dari Dinas Pelayanan Pajak DKI  Jakarta, metodenya dengan membantu wajib pajak menghindari pajak. Caranya, ketiga pegawai pajak itu mendekati wajib pajak yang menunggak pajak. Setelah itu, mereka mulai menawari para wajib pajak untuk dihapuskan tunggakannya, namun harus memberikan sejumlah uang atau persenan kepada ke tiga pegawai pajak itu (Kaskus, 2015)
2.      Kasus yang melibatkan oknum pegawai direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berinisial JJ oknum pegawai pajak berinisial JJ tersebut  telah menerima gratifikasi sebesar Rp14,1 miliar dalam penjualan faktur pajak. Dan sebelumnya, penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) juga menahan eks-pejabat Kantor Pelayanan Pajak Madya Gambir, AP tersangka dugaan korupsi penerimaan gratifikasi, hadiah atau janji dalam pengurusan pajak (hukumonline.com, 2017).
3.      Kasus yang menjerat dua pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Malang  kedua orang tersebut berinisial Agus dan Anis, keduannya merupakan Kasi Pengadaan Tanah dan, Kasi Penataan Pertanahan. Modus yang kerapkali di lakukan oleh kedua oknum pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi  tersebut adalah mematok biaya kepengurusan sertifikat rumah dan tanah hingga Rp 400.000. Padahal menurut Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) biayanya hanya Rp 50.000. Mereka memanfaatkan seorang pemohon yang sedang mengurus 75 berkas sertifikat. Setelah berkas itu rampung dicetak, mereka menagih uang Rp 20 juta ke pemohon itu. 
4.      Kasus gratifikasi yang menjerat Kepala Subseksi Pemeliharaan Data Pertanahan BPN Kota Semarang, WR. Yang mana bersama tersangka berhasil ditemukan barang bukti berupa  Uang dengan jumlah total sekitar Rp 598 juta yang diamankan dari 125 amplop yang berada di laci meja kerja, kos, mobil, dan tas milik tersangka. Besaran jumlah uang dalam amplop itu pun berbeda-beda (inikata.com, 2017)
5.      Kasus yang menjerat salah satu oknum pegawai kelurahan Gandaria Utara. Dalam kasus tersebut pelaku diketahui melakukan pungli kepada warga, terkait dengan pengurusan sertifikat rumah. Pelaku memeras warga dalam proses pengurusan tersebut hingga mencapai 8 juta rupiah. Dengan dalih sebagai biaya pengurusan dokumen dan alasan-alasan lain yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Anehnya dalam proses transaksi oknum pegawai tersebut tidak menyediakan tanda terima dalam bentuk apapun (Kompas.com, 2018).
6.      Kasus pungli oknum  Lurah Paninggilan kota tanggerang modusnya yaitu sang lurah memudahkan pengurusan surat menyurat dan penandatanganan berkas tanah. Dengan cara itu, ASN ini mengantongi uang pungli PTSL mencapai Rp 900 juta (radartegal.com, 2018)
7.      Kasus pungli  Seorang oknum pegawai Perusahaan Air Minum Daerah (PDAM) Tirtalihou bersinial ES, ia meminta uang dalam pemasangan baru instalasi air dirumah warga, yang seharusnya gratis, atas aksinya tersebut ES berhasil mengantongi uang warga hingga 11 juta rupiah (medanbisnisdaily.com, 2018).
8.      Kasus pungli yang menjerat Seorang oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai honorer di Unit Pelayanan Tekhnis Dinas (UPTD) Pasar Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat berinisial DR dan SA. Kedua pelaku melakukan pungli kepada pedagang pasar dengan meminta uang dengan jumlah  yang bervariasi. pungutan tersebut dilakukan dengan  dalih untuk keamanan dan kebersihan, uang itu di luar restribusi sebesar Rp 2.000 per ruko dan per pedagang kaki lima (news.detik.com, 2016).
9.      Kasus yang yang melibatkan pegawai negeri sipil (PNS) Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Depok. para pelaku kedapatan meminta pungutan kepada sopir angkot melebihi tarif retribusi angkot. Jumlah pungutan yang mereka minta bervariasi mulai dari 20 ribu hingga 40 ribu rupiah perharinya (liputan6.com, 2017).
10.  Kasus pungli yang menjerat oknum aparatur sipil negara (ASN) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi, berinisial DS, Oknum pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) itu diciduk dalam operasi tangkap tangan (OTT) Polres Sukabumi Kota saat meminta sejumlah uang kepada warga yang sedang mengurus pengambilan KTP (kompas.com, 2018).
Demikianlah sekelumit problematika suap dan pungli dalam proses pelayanan publik yang ada dinegeri ini. Sesungguhnya beberapa kasus tersebut hanya sebagian kecil dari sekian banyak kasus suap dan pungli yang terjadi, namun belum atau tidak terungkap ke publik. Tingginya kasus suap dan pungli masih menjadi potret buram sektor pelayanan publik di Negeri ini. Terlepas dari berbagai usaha dan upaya yang dilakukan dalam rangka untuk mengatasi masalah tersebut, kondisi ini menunjukan bahwa usaha pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam menangani persoalan korupsi utamanya suap dan pungli pada sektor pelayanan publik terkesan belum maksimal jika tidak ingin dikatakan gagal.
Unit-unit kecil yang ditugaskan untuk memberantas korupsi dalam sektor pelayanan publik tampaknya tidak mampu menjangkau semua lini yang terindikasi telah terjadi korupsi. Kondisi tersebut disebabkan karena masalah korupsi dan segala turunannya baik suap dan pungli  telah membudaya dan menggurita dalam sektor pelayanan publik.
Telah menjadi rahasia umum bahwa di banyak instansi pelayanan publik milik pemerintah seolah tidak ada lagi meja yang terbebas dari praktik suap, sementara rangkaian meja yang ditelusuri  kerapkali teramat sangat panjang, sehingga dapat dibayangkan berapa banyak uang suap yang dikeluarkan untuk memperpendek pelayanan birokrasi tersebut. Atau bagi masyarakat yang enggan berurusan dengan birokrasi tersebut, terkadang lebih memilih untuk menyelesaikan urusannya melalui perantaraan calo.
Tak bisa dipungkiri walaupun pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi,  Kolusi, dan Nepotisme dengan segala perangkatnya pendukungnya, seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), dan Tim Pemburu Koruptor, tetap saja korupsi utamanya di sektor pelayanan publik tumbuh, berkembang semakin merajalela, bahkan semakin bertambah parah.
B.  Simpulan: Urgensi Revitalisasi Di Sektor Pelayanan Publik
Jika ditelusuri lebih dalam, problematika di sektor pelayanan publik memamiliki akar masalah yang sangat kompleks. Upaya penanggulangan korupsi disektor pelayanan publik tentunya tidak bisa dilakukan dengan setengah hati. Pada tataran aplikatifnya, dibutuhkan seriusan dan kerja keras dari pihak pemerintah selaku pengambil kebijakan utamanya dalam aspek penegakan supremasi hukum  yang tegas dan tidak pandang bulu. Disamping itu juga dibutuhkan kesadaran dari semua pihak untuk mencegah, melaporkan atau bahkan menghentikan paraktik-praktik tersebut, oleh karena itu perlu dibangun sinergitas dan kerjasama yang apik antara pemerintah dan masyarakat guna mensukseskan usaha tersebut. Kesimpulnnya bahwa dalam upaya penanggulangan masalah korupsi di sektor pelayanan publik pemerintah harus memaksimalkan fungsi dominasi dan hegemoni secara aktual tentunya dengan tidak merugikan pihak-pihak yang tidak bersalah. Untuk mengatasi masalah korupsi utamanya dalam bentuk suap dan sejenisnya perlu diberlakukan sanksi yang tegas kepada kedua belah pihak yakni pemberi suap dan penerima suap.
Sesuai dengan kompleksitas akar permasalahan, maka seharusnya banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengatasi praktik suap di sektor pelayanan publik diantaranya adalah:
a.    Usaha Preventif
Pertama, pencegahan korupsi di sektor pelayanan dapat dilakukan dengan menciptakan pelayanan yang berkualitas, pelayanan berkualitas yang dimaksud adalah pelayanan yang mengutamakan transparansi, akuntabilitas, tidak berbelit-belit dan memiliki patokan biaya yang pasti dan terjangkau khususnya oleh masyarakat kurang mampu.
Kedua Pelayanan dalam sektor pelayanan publik harus di buat semudah mungkin. Untuk menghindari praktek percaloan. Usaha ini dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan fungsi pelayanan melaui Internet. memaksimalkan pelayanan melalui ranah digital sangat evektif apalagi masyarakat indonesia di kenal sebagai masyarakat dengan intensitas dunia maya yang sangat tinggi  Melebihi Negara Amerika  Serikat.
Ketiga, pemerintah khususnya pihak-pihak terkait harus melakukan sosialisasi secara proaktif kepada masyarakat terkait prosedur pelayanan yang benar, usaha ini bisa dilakukan secara langsung dengan melakukan kunjungan langsung kemasyarakat, sosialisasi melaui media cetak dan media elektronik  atau memaksimalkan media sosial, blogging atau website yang dapat diakses oleh siapapun.
Keempat memaksimalkan fungsi pengawasan internal dengan cara mengadakan kesepakatan dan kerjasama dengan  lembaga pengawasan yang disokong oleh pemerintah seperti misalnya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Kelima untuk mencegah terjadinya penyelewangan dengan membentuk dan memaksimalkan fungsi unit-unit yang bertugas dalam menerima laporan serta keluhan yang terkait dengan indikasi pelanggaran di sektor pelayanan publik yang ditemukan oleh masyarakat.
Keenam Sekaliwaktu, unsur pimpinan perlu melakukan insepeksi mendadak guna untuk melihat kinerja bawahannya sekaligus menanyakan prosedur dan keluhan dalam  pelaksanaan pelayanan publik kepada masyarakat.
b.   Upaya Kuratif
Upaya kuratif merupakan upaya penindakan langsung, yang mana upaya ini dapat dilakukan jika masalah suap atau pungli telah terjadi  dan telah melalui proses pembuktian, maka pemberian sanksi tegas, dalam bentuk pemecatan secara tidak terhormat, pemiskinan, pengucilan, pencabutan hak politik  dan pemberian sanksi hukum yang tegas.


DAFTAR PUSTAKA
Fandy Tjiptono, 1996, Manajemen JasaPenerbit Andi,  Yogyakarta.
Fatkhuri. 2017. Korupsi Dalam Birokrasi dan Strategi Pencegahannya. Jurnal Ilmiah         Manajemen Publik dan Kebijakan Publik  Vol 1, No 2 (2017).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara           yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi,  Kolusi, dan       Nepotisme

Sumber Internet