Thursday, February 7, 2019

POLITIK TRANSAKSIONAL DAN ANCAMAN DEMOKRASI LOKAL


By: Peribadi And La Ode Montasir

Department of Sociology Science, Faculty of Social and Political Science,
Universitas Halu Oleo, Southeast Sulawesi, Indonesia.



Prolog. Urgensi nilai-nilai budaya dalam proses demokratisasi di bangsa dan negara tercinta ini, mungkin saja bukan hanya karena “citra demokrasi” berasal dari negara dan bangsa yang berbeda budaya. Akan tetapi, dalam tataran praksis kita tengah diperhadapkan dengan politisi-politisi bagundal yang terjangkiti candu “narkotika budaya (narkoya)” dalam kerangka life style yang serba bebas (liberal), tidak mengenal haram-halal (permisif), dan amat memanjakan hawa nafsu (hedonis).

Akibatnya, selain membuahkan konflik horisontal yang kelak membuntuti konstalasi pengembangan demokrasi, juga sudah pasti akan menjelmah elite-elite politik, public figure, calon-calon pemimpin dan pejabat bertalenta kapitalis yang sangat cerdas menggadai harta karung negara serta memuncratkan martabat bangsa yang berujung pada kebangkrutan total. Oleh karena itu, sepanjang matra politik masih dalam plat-form psedou demokrasi dan matra ekonomi masih berposisi sebagai panglima, maka kesuksesan segelintir orang yang berarti kegagalan orang banyak itu, tetap dianggap sebagai prestasi yang bergengsi dan membanggakan. Tidak terlalu mengherankan kalau amat banyak orang yang menerawang akan indah dan empuknya sebuah “kursi panas”, sehingga dengan segala kemampuan yang ada akan dikerahkan untuk memasuki arena pertarungan perebutan posisi, sekalipun harus menghalalkan berbagai cara untuk menyingkirkan rival politik.
Sementara dalam perspektif budaya permisif, fenomena dan realitas tersebut tampak sesuai dengan koridor demokrasi, sehingga tetap dianggap logis, rasional, dan bahkan tidak ada yang salah dengan cara-cara seperti itu. Namun pada sisi lain, bagi kandidat yang hendak masuk ke gelanggang pertarungan, terutama yang bakal memiliki garis tangan bertengger, seyogyanya menyadari sepenuh hati bahwa keberadaan bangsa dan negara kita tercinta ini adalah tak ubahnya “telur di ujung tanduk”. Betapa tidak, budaya permisif dan hedonis seolah telah menjamur bagai cendawan di musim hujan, sehingga fenomena gempa politik menggelegar di siang bolong.
            Karena itulah, pentingnya kita menengok kembali untuk menggali dan mewacanakan secara terus menerus potensi yang inherent atau including itu. Beberapa di antaranya yang acapkali disentil oleh para ahli politik, antara lain: Lembaga Ninik-Mamak di Minangkabau sebagai dapur penyelesaian berbagai masalah yang mengedepan pada masyarakat sekitarnya. Demikian pula Batassalapanga di Kerajaan Gowa dan Ade Pitu di Bone serta Puang dan Tosugi ri Wajo yang selain selaku wadah pemangku kedaulatan rakyat di wilayah kerajaan dan sekitarnya, juga merupakan pranata sosial yang menjadi sumber inspirasi talenta dan karakteristik elite dan pejabat kerajaan, sehingga kehidupan sosial warga masyarakat kondusif, stabil dan sejahtera.
            Seiring dengan itu, di wilayah Kerjaaan Konawe dan di Kesultanan Buton, juga ditemukan konsep Opitu Dula Batu dan Kalosara dan Martabat Tujuh dan Sarana Wolio yang menggambarkan kelompok elite sosial khusus yang diamanahi tugas dan tanggung jawab untuk memberi kontribusi bermakna terhadap proses pelaksanaan pemerintahan. Dan bahkan dalam Martabat Tujuh di Kesultanan Buton, selain menggambarkan strata sosial masyarakat yang secara struktural fungsional tampak demikian sistemik, juga merupakan duplikat peraturan perundang-undangan yang mengatur roda pemerintahan di seluruh wilayah Kesultanan Buton (Siaib dkk, 2015; Hafid dkk, 2015; Peribadi, 2015).
1. Proses Musyawarah
Ada dua hal mendasar dalam konteks demokrasi lokal yang tampak cukup kontekstual sehubungan dengan proses penyelenggaraan Pilkada secara langsung. Pertama, prinsip musyawarah merupakan mekanisme pengambilan keputusan utama dalam sistem kepemimpinan tradisional. Menurut salah seorang informan yang bernama La Ode Wahidin bahwa karakteristik musyawarah di masa kerayaan Kesultanan Buton, bukan atas dasar suara mayoritas. Akan tetapi, musyawarah dalam artian mufakat secara bulat. Salah satu contoh kasus, yakni pemilihan Kepala Kadie Watumotobhe (Lakina Watumotobhe) antara tahun 1930-1940-an. Ketika itu, kandidat yang diajukan oleh Dewan Legislatif Siolimbona adalah La Ode Khutbah bin La Ode Saragha (Pejabat Kepala Kampung Matarea’o dalam Kadie Watumotobhe) yang telah mendapat dukungan mayoritas dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Sarana Wolio. Namun pada akhirnya, gugur karena tidak berhasil mendapat dukungan suara bulat ketika sang pejabat Kenipulu La Ode Mihi dan Yarona Lasalimu menandaskan tidak setuju, sehingga harus segera diajukan kandidat lain.    
Kedua, bagi pemimpin yang terpilih tidak secara sewenang-wenang menggunakan dan memanfaatkan posisinya dan apalagi cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Walaupun misalnya di Kesultanan Buton, golongan Kaomu merupakan strata sosial tertinggi di antara semua golongan yang ada. Tentu saja demikian, karena di wilayah Pemerintahan Kesultanan Buton terdapat sebuah falsafah adat yang disebut binci-binci kuli yang telah terinternalisasi secara fundamental pada semua kawula bangsa atau abdi kesultanan, sehingga di antara mereka tampak saling hormat menghormati.
Oleh para informan yang berhasil diwawancarai bahwa Sultan Buton sering mengadakan musyawarah baik dengan sesama pemimpin maupun dengan rakyat yang berlangsung di sebuah ruangan pertemuan yang disebut Baruga yang diawali dengan pertemuan pendahuluan dan kemudian dilanjutkan dengan pertemuan resmi, sehingga proses pertemuan tidak memakan waktu yang berlarut-larut dan panjang lebar.
Sementara kini, proses musyawarah yang sudah lazim terjadi dan bahkan telah menjadi rahasia umum bahwa sebelum berlangsung musyawarah untuk mencapai mufakat dengan suara terbanyak, kerapkali didahului dengan lobi-lobi tingkat tinggi yang berlangsung di tempat-tempat mewah untuk terlebih dahulu menseting jalannya pertemuan yang akan berlangsung. Akibatnya, selain terselubung berbagai subyektivitas dan kepentingan individu dan golongan, juga lebih cenderung berorientasi kepada “kebenaran tekstual”. Dalam artian, sekonyong-konyong dari sebuah kebenaran virtual mampu dialihkan menjadi sebuah kebenaran faktual, karena didukung oleh mayoritas peserta yang hadir dalam musyawarah dimaksud.
Dalam perspektif ini, menurut Piliang (1998) bahwa kehidupan semu di tengah masyarakat kontemporer merupakan sebuah jenis "kebudayaan libido" yang ditawarkan oleh para pendukung postrukturalis dan posmodernisme seperti Foucault, Lyotard, Derrida dan Kristeva yang berorientasi secara horizontal bagi pembebasan hasrat dan dekonstruksi moral. Dalam artian, berbagai kecenderungan upaya pemutar balikan fakta dengan sangat mudah dapat berlangsung dan sukses gemilang, karena peserta rapat terperangkap dengan kerangka berpikir ala “postrukturalis dan posmodernisme” tersebut. Hal ini misalnya dapat disimak dalam sebuah ulasan Editorial Metro Tv, 31Oktober 2007 yang menyoal “Persekongkolan Tekstual”:
Ribut-ribut soal calo anggaran alat utama sistem persenjataan antara Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan sejumlah anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat diselesaikan secara adat. Istilah yang merujuk kepada kompromi yang tidak boleh menyusahkan siapa-siapa.
Komisi I yang selama ini ngotot dengan kedaulatan otoritas dan locus Senayan rela juga pergi berunding di Departemen Pertahanan, locus otoritas lain. Saling tuding yang gencar selama satu minggu di antara kedua pihak dibicarakan dalam pertemuan tertutup. Hasilnya, kesepakatan bahwa tidak terjadi calo anggaran seperti yang dituding Juwono.
Tidak ada yang tahu isi pembicaraan, perdebatan, bukti-bukti, dan indikasi yang dibeberkan dalam pertemuan tertutup itu. Tetapi publik disuruh percaya bahwa kedua pihak tidak bersalah.
Itu bentuk pertanggungjawaban yang amat tidak mendidik. Kalau pemangku otoritas negara tidak ingin persoalan mereka diketahui publik karena tidak melanggar apa-apa, jagalah itu sehingga tetap berada dalam wilayah pengetahuan internal. Itulah etika organisasi, etika otoritas, etika jabatan, dan etika hubungan antarlembaga.
Terlalu sering sesama lembaga negara berdiplomasi melalui media massa untuk memojokkan atau memenangi kepentingan. Ketika eskalasi persoalan telah berada di luar kontrol atau alur yang dikehendaki, dengan gampang pula pers dituding salah kutip, salah tafsir, memelintir, dan sebagainya.
Pertikaian antarlembaga yang telanjur menjadi konsumsi publik sudah sepantasnya diselesaikan melalui transparansi yang juga diketahui publik. Itu bentuk pertanggungjawaban yang benar.
Dengan demikian publik mengharapkan, bahkan berhak, untuk mengetahui siapa sesungguhnya yang benar dan salah dalam kasus tuding-menuding antara Komisi I dan Menhan Juwono soal percaloan anggaran sistem persenjataan.
Pertemuan itu seharusnya dinyatakan terbuka bagi pers. Bila perlu, disiarkan langsung oleh televisi. Dengan demikian publik memperoleh pengetahuan, informasi, dan kesimpulan tentang siapa sesungguhnya yang benar dan siapa yang berbohong.
Yang dicari dan ingin ditegakkan adalah kebenaran substansial. Bukan kebenaran kompromistis yang disusun dalam teks yang amat santun untuk mengatakan kepada publik bahwa tidak ada yang bersalah.
Kompromi tekstual seperti itu malah mempertebal kecurigaan publik bahwa percaloan secara substansial memang terjadi. Komisi I bisa berkilah bahwa sebagai wakil rakyat mereka boleh menerima dan bertemu siapa saja. Itu memang benar. Tetapi yang selalu tidak pernah diakui, apa niat di balik pertemuan itu semua?
Kalau anggota dewan boleh bertemu semua orang, menteri dan presiden juga boleh melakukan hal yang sama. Tetapi tahukah kita tentang etika? Seorang presiden, misalnya, tidak boleh mengunjungi seorang tersangka yang sedang menjalani proses perkara di pengadilan. Dengan demikian harus juga ada larangan bagi anggota dewan untuk tidak menemui orang-orang dari kalangan bisnis yang sedang berebut tender di departemen. Kalau ada pertemuan, harus mengundang semua peserta tender dan dihadiri semua anggota komisi.
Bila satu-dua anggota secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menemui peserta tender di hotel, restoran, atau di tempat eksklusif untuk membicarakan harga dan spesifikasi peralatan, seharusnya tidak dilayani para anggota dewan.
Itulah perilaku dan sikap yang seharusnya ditempuh mereka yang memangku kepentingan negara atau mewakili kepentingan publik. Pakta integritas sudah seharusnya diterapkan dengan keras di kalangan para pemangku otoritas.
Tanpa itu, akan selalu terjadi pemutarbalikan. Argumen mengalahkan fakta. Teks menipu kehendak. Sampai kapan publik dikelabui dengan kelicikan-kelicikan dan persekongkolan tekstual seperti itu?

Meskipun pada gilirannya, lanjut Piliang bahwa kelak akan diambil alih atau akan terjadi titik balik realitas dari kondisi yang sebelumnya diciptakan oleh posmodernisme, yakni dari kondisi abnormalitas ke arah normalitas etika, dari vulgaritas ke arah vitalitas bentuk, dari amoral ke arah revitalisasi moral, dari despritualisasi ke arah respritualisasi kebudayaan. Dan menurutnya, tanda ke arah ini semakin tampak akhir-akhir ini, dengan berpalingnya kembali masyarakat pada kearifan-­kearifan masa lalu, pada kekuatan-kekuatan supranatural, pada keputusan-keputusan irasional, dan pada agama. Tentu saja salah satu di antaranya adalah kembali kepada kearifan nilai selektivitas kepemimpinan kerajaan dan kesultanan di masa lalu, meskipun tidak semuanya relevan untuk dikedepankan. Demikian pula sebaliknya, tentu saja tidak semua yang termaktub dalam sistem politik dan pemerintahan Orde Baru kategori jelek, sehingga keduanya penting disinergikan.
Dengan demikian, besar harapan bahwa kearifan-kearifan demokrasi lokal sejenis sistem pemerintahan Wolio di kesultanan Buton dan sistem kepemimpinan Osara di Kerajaan Konawe yang mampu menciptakan kesejahteraan dan kedamaian bagi penduduk di masa lalu, dapat dientaskan kembali dalam sebuah refleksi pemikiran sebagaimana dalam kajian reflektif ini. Tentu saja semua orang akan takjub jika mendengar bahwa Sultan dan Wekoila sebagai pemegang pucuk pimpinan tertinggi, namun tidak serta merta bertindak semaugue dan apalagi cenderung sewenang-wenang memberlakukan titahnya. Akan tetapi, mereka senantiasa bermusyawarah dengan para petinggi kesultanan dan kerajaan.  
Proses musyawarah di masa lalu senantiasa dapat berlangsung lancar, aman dan sukses melahirkan keputusan yang bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Karena semua aparat  diilhami oleh karakter kepemimpinan yang tidak semena-mena serta ditopang sikap jujur, berani, kritis, sopan dan ikhlas menerima sesuatu yang telah dimufakati secara bulat. Sebaliknya, proses musyawarah yang kerapkali berlangsung di zaman pemerintahan kontemporer seperti di Indonesia, di permukaan memang tampak lancar dan sukses membuahkan sesuatu. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang acapkali telah kita disepakati, ternyata kurang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara tercintai ini. Bahkan tidak jarang berakibat fatal bagi kehidupan sosial ekonomi kita.
2. Pola Pengawasan
Dewan Siolimbona sebagai legislatif memegang tugas, peranan dan tanggung jawab yang sangat besar. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Murtabat Tujuh  yang merupakan undang-undang khusus Pemerintahan di Kesultanan Buton bahwa fungsi Siolimbona terdiri dari 17 butir yang tersimpul dalam 2 hal pokok yaitu:
(1) Mengawasi tiga kelompok kekuatan sosial politik hasil eksekusi (partai) kaomu (Wolio: Kamboru-mboru Talupalena) yakni kaomu tanailandu, kaomu kumbewaha dan kaomu tapi-tapi yang mempersiapkan kader-kader untuk Jabatan-jabatan eksekutif pada eselon pangka dan kadie. Dalam bahasa adat disebut ajagani kamborumboru talupalena.
(2) Mengawasi ketimpangan dan penyelewengan serta kesalahan-kesalahan dari pelaksanaan pemerintahan oleh seluruh lembaga pemerintahan dalam arti luas meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif serta lembaga eksekutif pusat dan daerah. Dalam bahasa adat disebut ajagani karungga sara ogena sara kidhina.
            Dalam menjalankan fungsi dan hak-haknya tersebut, Siolimbona telah menunjukkan efektifitasnya yang sangat gemilang. Hal ini dapat diketahui dari bukti-bukti sejarah yang menunjukkan betapa banyaknya pejabat negara yang telah diajukan ke peradilan aparatur negara (Mahkamah Sarana Wolio) dan mendapatkan hukuman seperti: pasabu (pemecatan dari jabatan), papasi (pengasingan), tatasi pulanga (pencabutan hak-haknya terhadap jabatan-jabatan kenegaraan selama tujuh generasi) dan gogoli (hukuman mati). Sebagai contoh:
(a)    Sultan Buton ke-11 La Tangkaraja Oputa Mosabuna yi Lakambau Sultan Qa’im ad-Diyn (1669-1680) dipecat dari jabatannya (pasabu) dengan kesalahan membangun benteng di dataran Lawela sekitar 6 km sebelah selatan ibukota Wolio tanpa berkoordinasi dengan lembaga legislatif (siolimbona).
(b)   Sultan Buton ke-8 La Cila Oputa yi Gogoli yi Liwuto Sultan Mardan Ali (1647-1654) pada tahun 1654 dihukum mati (gogoli) di pulau Makassar (Liwuto Makasu) dengan kesalahan melanggar adat dan agama.
      Atas nama rakyat dan negara, maka Dewan Perwakilan Rakyat Siolimbona menjalan tugas dan peranannya secara profesional serta penuh rasa tanggung jawab dengan cara mengawasi seluruh penggunaan keuangan negara serta tindak tanduk pemimpin dan para kawula negara. Betapa menakjubkan, karena Bhonto Ogena yang disimbolkan sebagai istri kedua dari Sultan setelah Sapati menjalankan tugas pengawasan secara aktif dan langsung terhadap Sultan, tanpa dipusingkan dengan pertimbangan kolusi dan nepotisme, sehingga Sultan pun berhasil dipecat dan bahkan ada yang dihukum mati.
      Sementara itu, bangsa dan negara kita tercinta ini, selain dikitari dengan berbagai macam problematika kehidupan sosial yang membingungkan, juga secara spektakuler dengan gilang-gemilang meraih prestasi sebagai negara terkorup yang amat memalukan. Berbagai lembaga alternatif yang telah didirikan untuk mengontrol dan mengawasi roda pemerintahan serta memeriksa penggunaan keuangan negara, akan tetapi tak mampu berbuat maksimal. Kecuali KPK dalam konteks Supremasi Hukum, kini telah menunjukkan gigi taringnya dalam mengkarangkeng kaum ”bagundalisme” di bangsa dan negara nan merana ini. Sementara KPU/KPUD sebagai pilar demokrasi vital tampak diwarnai dengan pertontonan ”lucuisme” yang menggelikan, karena boleh jadi yang terpilih adalah bukan kategori kumpulan manusia reformis.
3. Sistem Pemerintahan dan Pembagian Kekuasaan
Pola dan mekanisme Pemerintahan Kesultanan Buton dan Pemerintahan Kerajaan Konawe, adalah selain menggambarkan batas dan ruang lingkup wilayah kekuasaan, juga sekaligus menunjukkan tingkat stratifikasi sosial masyarakat dengan wewenangnya masing-masing yang dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab oleh mereka yang diamanahi. Hal ini semua diterangkan secara komprehensif di dalam sisitem konstitusi yang pernah berlaku, yakni Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh; Idiologi Negara: Bhioni-Bhioniki Kuli; Semboyan Nasional Buton: Poramu Yindaasaangu Pogaa Yinda Akoolota; Dasar Negara Buton: Man Arafa Nafzahu Faqad Arafa Rabbahu.
Secara teritorial, wilayah pemerintahan Kesultanan Buton dibagi atas tiga struktur. Pertama, Sara Wolio atau keraton merupakan pusat pemerintahan dan pengembangan Islam ke seluruh wilayah kesultanan yang di dalamnya hanya berhak ditempati atau dihuni oleh 2 golongan yang berstatus ningrat, yakni golongan kaomu atau kaumu sebagai keturunan garis bapak dari pasangan raja pertama; serta golongan Walaka sebagai keturunan menurut garis bapak dari founding fathers kerajaan Buton (mia patamiana) dan sekaligus termasuk elite penguasa. Dan golongan tersebut ditandai dengan gelar La Ode untuk kaum laki-laki dan Wa Ode untuk kaum perempuan.
Kedua, empat wilayah kerajaan yang kategori kerajaan kecil sebagai wilayah bagian dan otonom yang disebut wilayah Barata, yakni Kolisusu, Tiworo, Muna dan Kalidupa. Keempat wilayah bagian tersebut memiliki pemerintahan sendiri, namun tetap tunduk di bawah kekuasaan pemerintah pusat di Kraton Wolio yang dipegang oleh golongan kaomu dan walaka sebagai penguasa tertinggi untuk ketiga wilayah itu (wolio, kadie dan barata). Namun Sultan sebagai penguasa tertinggi kerajaan dibantu oleh beberapa pejabat tinggi di pusat dan pejabat-pejabat di daerah (Barata)
Ketiga, wilayah kadie sebagai wilayah perkampungan yang berada di luar kraton wolio yang berjumlah ± 72 kadie) yang dimiliki oleh golongan penguasa dan dihuni oleh golongan papara. Secara umum, Menurut Yunus (1995) sistem dan proses birokrasi di Kesultanan Buton sebagai berikut:
1.      Pangka (pejabat teras (rijksgroten) atau dewan swapraja yang dijabat oleh golongan koumu dan walaka, yang terdiri atas: Sapati (kaomu), Kenepulu (kaomu), Lakina Surowolio (kaomu); 2 orang Kopitalao: Kapitalao Sukanayo dan Matanayo (kaomu); dua orang Bonto Ogena (menteri besar); Bonto Ogena Sukanayo dan Matanayo (walaka).
2.      Sarana (Dewan) Wolio yang terdiri dari semua bobato (kaomu) dan bonto (walaka).
3.      Siolimbona (sembilan wilayah pemerintahan daerah) dari golongan walaka yang sangat menguasai adat dan bertugas menjaganya.
4.      Sarana Hukumu, yaitu badan yang mengurusi dan mengawasi masalah-masalah yang berhubungan dengan ajaran Islam dan ibadah. Mereka adalah lakina agama, imamu (imam) dan hatibi (khatib), semua dari golongan kaoumu.
5.      Staf khusus kesultanan yang meliputi: Bonto Inunca atau staf istana (walaka); Bontona Lencina Kanjawari, yaitu staf khusus yang membantu tugas-tugas tertentu (termasuk di sini Bonto Isana dari golongan walaka); Staf-staf lain yaitu: Juruba (ha) sa (walaka), Kapita, Sabandara (syahbandar) (koumu) sebagai otoritas pelabuhan, Tolombo yang membantu Bonto Ogena (menteri besar) sebagai penyampai maklumat dan pengumuman penting dari sultan, pangalasan yang bertugas membantu Bonto Ogena dalam mengumpulkan pajak (weti).

            Dengan demikian, jelas sekali bahwa sistem Pemerintahan Otonomi Daerah (Otoda) telah lama berlangsung, yakni sejak masa Kesultanan Buton. Dalam artian, sistem pemerintahan tersebut adalah bukan hal baru bagi masyarakat Sulawesi Tenggara, bahkan lebih dari itu, mekanisme dan proses pemerintahan dengan berbagai perangkat keras dan lunaknya terpola secara struktural fungsional serta berlangsung secara damai dan sejahtera.
Sebaliknya, Bangsa Indonesia sebagai bangsa kita yang telah merdeka selama ± 62 tahun, masih tergolong sebagai bangsa yang sedang belajar berdemokrasi, sehingga tidak mengherankan jika berbagai fenomena tindak tanduk cenderung kebablasan yang mewarnai perpolitikan kita dewasa ini. Tak pelak lagi, kecenderungan pragmatisme yang cenderung dilakoni oleh semua komponen masyarakat seolah menjadi pertontonan yang cukup spektakuler.
Dalam konstalasi itulah, kaum elite lokal terkesan cukup ambisius dengan mengerahkan seluruh enersi yang dimiliki dan bahkan cenderung menghalalkan berbagai cara demi menggapai kursi panas yang meninabobokkan itu. Boleh jadi karena merupakan impian khusus dan amat indah bagi kaum elite lokal, sehingga bagi mereka yang telah sukses, akan berupaya maksimal untuk mempertahankannya. Sementara bagi mereka yang bermaksud untuk merebutnya, tak mau kalah mengembangkan gebrakan-gebrakan spektakuler. Akibatnya, tentu saja yang terjadi adalah kehabisan enersi dan waktu untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Mungkin demikianlah salah satu dari gambaran euforia politik daerah yang selama ini terpasung di bawah panji-panji ”demokrasi otoriter” ala Orde Baru (rezim Suharto).
Sementara di tingkat kelas menengah ke bawah hingga di tataran akar rumput, Pilkadasung dengan berbagai kelebihan dan kelemahannya terdengar menjadi obyek pembicaraan yang menggelegar di pinggir jalan hingga di warung-warung kopi. Namun ketika kita mencoba menguping dan menyimak isi pembicaraan, maka tidak lain yang terdengar adalah seputar biaya pintu, biaya transportasi dan biaya pemasangan baliho-baliho kandidat yang terkesan kurang mendidik dan penyusunan taktik serangan fajar sebagai kunci akhir yang sangat menentukan. Ironisnya, bukan hanya orang-orang cenderung membicarakan Pilkadasung, tetapi semua orang terkesan cukup cerdas membicarakannya. Namun sayang seribu sayang, agaknya kecerdasan dimaksud adalah dalam artian nyindir, nyeleneh dan bombastis.
Dalam konteks inilah, pentingnya semua pihak memahami, menghayati dan mengamalkan sejenis Martabat Tujuh sebagai Undang-Undang Dasar; Bhioni-Bhioniki Kuli sebagai idiologi kesultanan; Poramu Yindaasaangu Pogaa Yinda Akoolota sebagai semboyan nasional; Man Arafa Nafzahu Faqad Arafa Rabbahu sebagai dasar negara.
Kenyataan empirik menunjukkan bahwa berbagai Undang-Undang dan Perpu tentang politik yang telah dijebolkan oleh lembaga eksekutif bersama legislatif untuk mengatur proses pemilihan presiden, legislatif dan kepala daerah dengan berbagai perangkat keras dan lunaknya, termasuk Undang-Undang Parpol dan KPU dengan tupoksinya masing-masing. Namun yang terjadi di lapangan adalah kecenderungan menyimpang, mengabaikan dan melanggar koridor-koridor hukum yang telah digariskan. Yang menjadi solusi kemudian, adalah perlunya Undang-Undang politik baru, sehingga cukup terkesan bahwa semuanya hanya berlangsung dalam kerangka uji coba yang penuh tambal sulam.
            EPILOG: Kita harus bergegas menengok kembali untuk menggali dan mewacanakan secara terus menerus potensi yang inherent atau including di dalam budaya demokrasi lokal kita. Beberapa di antaranya yang acapkali disentil oleh para ahli politik, antara lain: Lembaga Ninik-Mamak di Minangkabau sebagai dapur penyelesaian berbagai masalah yang mengedepan pada masyarakat sekitarnya. Demikian pula Batassalapanga di Kerajaan Gowa dan Ade Pitu di Bone serta Puang dan Tosugi ri Wajo yang selain selaku wadah pemangku kedaulatan rakyat di wilayah kerajaan dan sekitarnya, juga merupakan pranata sosial yang menjadi sumber inspirasi talenta dan karakteristik elite dan pejabat kerajaan, sehingga kehidupan sosial warga masyarakat kondusif, stabil dan sejahtera. Demikian di wilayah Kerjaaan Konawe dan di Kesultanan Buton masa silam, ditemukan konsep Opitu Dula Batu dan Kalosara serta Martabat Tujuh dan Sarana Wolio yang secara struktural fungsional merupakan duplikat peraturan perundang-undangan yang mengatur roda pemerintahan.










REFERENSI

Editorial Metro Tv, Persekongkolan Tekstual, 31 Oktober 2007.

Hafid, Anwar, dkk., 2015. International Research Journal of Emerging Trends in Multi disciplinary (IRJETM), Volume 1, Issue 9 November 2015, Hal. 1 – 15.

Nadjib, Ainun, Emha,1999. Pemilu Politik Kebangsaan, Zaituna, Yogyakarta

Peribadi dkk, 2015. Developmental Planning Meeting Based On Kalosara Culture (A Study Of Community In Mainland Area Of South East Sulawesi), International Journal of Scientific Engineering and Applied Science (IJSEAS), Volume 1, Issue 8 November 2015, Hal. 148 -163.

Piliang, Amir, Yasraf, 1998, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme, Mizan, Anggota IKAPI, Bandung.

Suaib, Eka dkk., 2015. Traditional Leadership And Local Democracy In Konawe Kingdom, International Journal of Art & Humanity Science (IJAHS), Volume 2 Issue 6, (Nov-Dec 2015), PP. 96-105, Hal. 96 - 105

Yunus, Rahim, 1995. Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kesultanan Buton Abad ke-19, INIS, Jakarta