By: Peribadi And La Ode
Montasir
Department
of Sociology Science, Faculty of Social and Political Science,
Universitas
Halu Oleo, Southeast Sulawesi, Indonesia.
Prolog. Urgensi nilai-nilai budaya dalam
proses demokratisasi di bangsa dan negara tercinta ini, mungkin saja bukan
hanya karena “citra demokrasi” berasal dari negara dan bangsa yang berbeda
budaya. Akan tetapi, dalam tataran praksis kita tengah diperhadapkan dengan
politisi-politisi bagundal yang terjangkiti candu “narkotika budaya (narkoya)” dalam kerangka life
style yang serba bebas (liberal), tidak mengenal haram-halal (permisif),
dan amat memanjakan hawa nafsu (hedonis).
Akibatnya,
selain membuahkan konflik horisontal yang kelak membuntuti konstalasi
pengembangan demokrasi, juga sudah pasti akan menjelmah elite-elite politik,
public figure, calon-calon pemimpin dan pejabat bertalenta kapitalis yang
sangat cerdas menggadai harta karung negara serta memuncratkan martabat bangsa
yang berujung pada kebangkrutan total. Oleh karena itu, sepanjang matra politik
masih dalam plat-form psedou demokrasi dan matra ekonomi masih berposisi
sebagai panglima, maka kesuksesan segelintir orang yang berarti kegagalan orang
banyak itu, tetap dianggap sebagai prestasi yang bergengsi dan membanggakan.
Tidak terlalu mengherankan kalau amat banyak orang yang menerawang akan indah
dan empuknya sebuah “kursi panas”, sehingga dengan segala kemampuan yang ada
akan dikerahkan untuk memasuki arena pertarungan perebutan posisi, sekalipun
harus menghalalkan berbagai cara untuk menyingkirkan rival politik.
Sementara
dalam perspektif budaya permisif, fenomena dan realitas tersebut tampak sesuai
dengan koridor demokrasi, sehingga tetap dianggap logis, rasional, dan bahkan
tidak ada yang salah dengan cara-cara seperti itu. Namun pada sisi lain, bagi
kandidat yang hendak masuk ke gelanggang pertarungan, terutama yang bakal memiliki
garis tangan bertengger, seyogyanya menyadari sepenuh hati bahwa keberadaan
bangsa dan negara kita tercinta ini adalah tak ubahnya “telur di ujung tanduk”.
Betapa tidak, budaya permisif dan hedonis seolah telah menjamur bagai cendawan
di musim hujan, sehingga fenomena gempa politik menggelegar di siang bolong.
Karena itulah, pentingnya kita menengok kembali untuk
menggali dan mewacanakan secara terus menerus potensi yang inherent atau including
itu. Beberapa di antaranya yang acapkali disentil oleh para ahli politik,
antara lain: Lembaga Ninik-Mamak di
Minangkabau sebagai dapur penyelesaian berbagai masalah yang mengedepan pada
masyarakat sekitarnya. Demikian pula Batassalapanga
di Kerajaan Gowa dan Ade Pitu di Bone
serta Puang dan Tosugi ri Wajo yang selain selaku wadah pemangku kedaulatan rakyat
di wilayah kerajaan dan sekitarnya, juga merupakan pranata sosial yang menjadi
sumber inspirasi talenta dan karakteristik elite dan pejabat kerajaan, sehingga
kehidupan sosial warga masyarakat kondusif, stabil dan sejahtera.
Seiring dengan itu, di wilayah Kerjaaan Konawe dan di
Kesultanan Buton, juga ditemukan konsep Opitu
Dula Batu dan Kalosara dan Martabat Tujuh dan Sarana Wolio yang menggambarkan kelompok elite sosial khusus yang
diamanahi tugas dan tanggung jawab untuk memberi kontribusi bermakna terhadap
proses pelaksanaan pemerintahan. Dan bahkan dalam Martabat Tujuh di Kesultanan
Buton, selain menggambarkan strata sosial masyarakat yang secara struktural
fungsional tampak demikian sistemik, juga merupakan duplikat peraturan
perundang-undangan yang mengatur roda pemerintahan di seluruh wilayah
Kesultanan Buton (Siaib
dkk, 2015; Hafid dkk, 2015; Peribadi, 2015).
1. Proses Musyawarah
Ada dua hal
mendasar dalam konteks demokrasi lokal yang tampak cukup kontekstual sehubungan
dengan proses penyelenggaraan Pilkada secara langsung. Pertama, prinsip musyawarah merupakan mekanisme pengambilan
keputusan utama dalam sistem kepemimpinan tradisional. Menurut salah seorang
informan yang bernama La Ode Wahidin bahwa karakteristik musyawarah di masa
kerayaan Kesultanan Buton, bukan atas dasar suara mayoritas. Akan tetapi,
musyawarah dalam artian mufakat secara bulat. Salah satu contoh kasus, yakni
pemilihan Kepala Kadie Watumotobhe (Lakina Watumotobhe) antara tahun
1930-1940-an. Ketika itu, kandidat yang diajukan oleh Dewan Legislatif
Siolimbona adalah La Ode Khutbah bin La Ode Saragha (Pejabat Kepala Kampung
Matarea’o dalam Kadie Watumotobhe) yang telah mendapat dukungan mayoritas dari
seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Sarana Wolio. Namun pada akhirnya,
gugur karena tidak berhasil mendapat dukungan suara bulat ketika sang pejabat
Kenipulu La Ode Mihi dan Yarona Lasalimu menandaskan tidak setuju, sehingga
harus segera diajukan kandidat lain.
Kedua, bagi pemimpin yang terpilih tidak secara
sewenang-wenang menggunakan dan memanfaatkan posisinya dan apalagi cenderung
menyalahgunakan kekuasaan. Walaupun misalnya di Kesultanan Buton, golongan Kaomu merupakan strata sosial tertinggi
di antara semua golongan yang ada. Tentu saja demikian, karena di wilayah
Pemerintahan Kesultanan Buton terdapat sebuah falsafah adat yang disebut binci-binci kuli yang telah
terinternalisasi secara fundamental pada semua kawula bangsa atau abdi
kesultanan, sehingga di antara mereka tampak saling hormat menghormati.
Oleh para
informan yang berhasil diwawancarai bahwa Sultan Buton sering mengadakan
musyawarah baik dengan sesama pemimpin maupun dengan rakyat yang berlangsung di
sebuah ruangan pertemuan yang disebut Baruga yang diawali dengan pertemuan
pendahuluan dan kemudian dilanjutkan dengan pertemuan resmi, sehingga proses
pertemuan tidak memakan waktu yang berlarut-larut dan panjang lebar.
Sementara
kini, proses musyawarah yang sudah lazim terjadi dan bahkan telah menjadi
rahasia umum bahwa sebelum berlangsung musyawarah untuk mencapai mufakat dengan
suara terbanyak, kerapkali didahului dengan lobi-lobi tingkat tinggi yang
berlangsung di tempat-tempat mewah untuk terlebih dahulu menseting jalannya
pertemuan yang akan berlangsung. Akibatnya, selain terselubung berbagai
subyektivitas dan kepentingan individu dan golongan, juga lebih cenderung
berorientasi kepada “kebenaran tekstual”. Dalam artian, sekonyong-konyong dari
sebuah kebenaran virtual mampu dialihkan menjadi sebuah kebenaran faktual,
karena didukung oleh mayoritas peserta yang hadir dalam musyawarah dimaksud.
Dalam perspektif ini,
menurut Piliang (1998) bahwa kehidupan semu di tengah masyarakat kontemporer merupakan
sebuah jenis "kebudayaan libido" yang ditawarkan oleh para pendukung
postrukturalis dan posmodernisme seperti Foucault, Lyotard, Derrida dan
Kristeva yang berorientasi secara horizontal bagi pembebasan hasrat dan
dekonstruksi moral. Dalam artian, berbagai
kecenderungan upaya pemutar balikan fakta dengan sangat mudah dapat berlangsung
dan sukses gemilang, karena peserta rapat terperangkap dengan kerangka berpikir
ala “postrukturalis dan posmodernisme” tersebut. Hal ini
misalnya dapat disimak dalam sebuah ulasan Editorial Metro Tv, 31Oktober 2007
yang menyoal “Persekongkolan Tekstual”:
Ribut-ribut soal calo anggaran alat utama sistem
persenjataan antara Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dan sejumlah anggota
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat diselesaikan secara adat. Istilah yang merujuk
kepada kompromi yang tidak boleh menyusahkan siapa-siapa.
Komisi I yang selama ini ngotot dengan kedaulatan otoritas dan locus Senayan rela juga pergi berunding di Departemen Pertahanan, locus otoritas lain. Saling tuding yang
gencar selama satu minggu di antara kedua pihak dibicarakan dalam pertemuan
tertutup. Hasilnya, kesepakatan bahwa tidak terjadi calo anggaran seperti yang
dituding Juwono.
Tidak ada yang tahu isi pembicaraan, perdebatan,
bukti-bukti, dan indikasi yang dibeberkan dalam pertemuan tertutup itu. Tetapi
publik disuruh percaya bahwa kedua pihak tidak bersalah.
Itu bentuk pertanggungjawaban yang amat tidak mendidik.
Kalau pemangku otoritas negara tidak ingin persoalan mereka diketahui publik
karena tidak melanggar apa-apa, jagalah itu sehingga tetap berada dalam wilayah
pengetahuan internal. Itulah etika organisasi,
etika otoritas, etika jabatan, dan etika hubungan antarlembaga.
Terlalu sering sesama lembaga negara berdiplomasi melalui
media massa untuk memojokkan atau memenangi kepentingan. Ketika eskalasi
persoalan telah berada di luar kontrol atau alur yang dikehendaki, dengan
gampang pula pers dituding salah kutip, salah tafsir, memelintir, dan
sebagainya.
Pertikaian antarlembaga yang telanjur menjadi konsumsi
publik sudah sepantasnya diselesaikan melalui transparansi yang juga diketahui
publik. Itu bentuk pertanggungjawaban yang benar.
Dengan demikian publik mengharapkan, bahkan berhak, untuk
mengetahui siapa sesungguhnya yang benar dan salah dalam kasus tuding-menuding
antara Komisi I dan Menhan Juwono soal percaloan anggaran sistem persenjataan.
Pertemuan itu seharusnya dinyatakan terbuka bagi pers.
Bila perlu, disiarkan langsung oleh televisi. Dengan demikian publik memperoleh
pengetahuan, informasi, dan kesimpulan tentang siapa sesungguhnya yang benar
dan siapa yang berbohong.
Yang dicari dan ingin ditegakkan adalah kebenaran
substansial. Bukan kebenaran kompromistis yang disusun dalam teks yang amat
santun untuk mengatakan kepada publik bahwa tidak ada yang bersalah.
Kompromi tekstual seperti itu malah mempertebal
kecurigaan publik bahwa percaloan secara substansial memang terjadi. Komisi I
bisa berkilah bahwa sebagai wakil rakyat mereka boleh menerima dan bertemu
siapa saja. Itu memang benar. Tetapi yang selalu tidak pernah diakui, apa niat
di balik pertemuan itu semua?
Kalau anggota dewan boleh bertemu semua orang, menteri
dan presiden juga boleh melakukan hal yang sama. Tetapi tahukah kita tentang
etika? Seorang presiden, misalnya, tidak boleh mengunjungi seorang tersangka
yang sedang menjalani proses perkara di pengadilan. Dengan demikian harus juga
ada larangan bagi anggota dewan untuk tidak menemui orang-orang dari kalangan
bisnis yang sedang berebut tender di departemen. Kalau ada pertemuan, harus
mengundang semua peserta tender dan dihadiri semua anggota komisi.
Bila satu-dua anggota secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama menemui peserta tender di hotel, restoran, atau di tempat
eksklusif untuk membicarakan harga dan spesifikasi peralatan, seharusnya tidak
dilayani para anggota dewan.
Itulah perilaku dan sikap yang seharusnya ditempuh mereka
yang memangku kepentingan negara atau mewakili kepentingan publik. Pakta
integritas sudah seharusnya diterapkan dengan keras di kalangan para pemangku
otoritas.
Tanpa itu, akan selalu terjadi pemutarbalikan. Argumen mengalahkan fakta.
Teks menipu kehendak. Sampai kapan publik dikelabui dengan kelicikan-kelicikan
dan persekongkolan tekstual seperti itu?
Meskipun pada gilirannya,
lanjut Piliang bahwa kelak akan diambil alih atau akan terjadi titik balik
realitas dari kondisi yang sebelumnya diciptakan oleh posmodernisme, yakni dari
kondisi abnormalitas ke arah normalitas etika, dari vulgaritas ke arah
vitalitas bentuk, dari amoral ke arah revitalisasi moral, dari despritualisasi
ke arah respritualisasi kebudayaan. Dan menurutnya, tanda ke arah ini semakin
tampak akhir-akhir ini, dengan berpalingnya kembali masyarakat pada kearifan-kearifan
masa lalu, pada kekuatan-kekuatan supranatural, pada keputusan-keputusan
irasional, dan pada agama. Tentu saja salah satu di antaranya adalah kembali
kepada kearifan nilai selektivitas kepemimpinan kerajaan dan kesultanan di masa
lalu, meskipun tidak semuanya relevan untuk dikedepankan. Demikian pula
sebaliknya, tentu saja tidak semua yang termaktub dalam sistem politik dan
pemerintahan Orde Baru kategori jelek, sehingga keduanya penting disinergikan.
Dengan demikian, besar
harapan bahwa kearifan-kearifan demokrasi lokal sejenis sistem pemerintahan Wolio di kesultanan Buton dan sistem
kepemimpinan Osara di Kerajaan Konawe
yang mampu menciptakan kesejahteraan dan kedamaian bagi penduduk di masa lalu,
dapat dientaskan kembali dalam sebuah refleksi pemikiran sebagaimana dalam
kajian reflektif ini. Tentu saja semua orang akan takjub jika mendengar bahwa
Sultan dan Wekoila sebagai pemegang pucuk pimpinan tertinggi, namun tidak serta
merta bertindak semaugue dan apalagi
cenderung sewenang-wenang memberlakukan titahnya. Akan tetapi, mereka
senantiasa bermusyawarah dengan para petinggi kesultanan dan kerajaan.
Proses musyawarah di masa
lalu senantiasa dapat berlangsung lancar, aman dan sukses melahirkan keputusan
yang bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Karena semua aparat diilhami oleh karakter kepemimpinan yang
tidak semena-mena serta ditopang sikap jujur, berani, kritis, sopan dan ikhlas
menerima sesuatu yang telah dimufakati secara bulat. Sebaliknya, proses
musyawarah yang kerapkali berlangsung di zaman pemerintahan kontemporer seperti
di Indonesia, di permukaan memang tampak lancar dan sukses membuahkan sesuatu.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang acapkali telah kita disepakati,
ternyata kurang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara tercintai ini.
Bahkan tidak jarang berakibat fatal bagi kehidupan sosial ekonomi kita.
2. Pola Pengawasan
Dewan Siolimbona sebagai
legislatif memegang tugas, peranan dan tanggung jawab yang sangat besar. Hal
ini sebagaimana diterangkan dalam Murtabat Tujuh yang merupakan undang-undang khusus
Pemerintahan di Kesultanan Buton bahwa fungsi Siolimbona terdiri dari 17 butir
yang tersimpul dalam 2 hal pokok yaitu:
(1) Mengawasi tiga kelompok kekuatan sosial politik hasil
eksekusi (partai) kaomu (Wolio: Kamboru-mboru Talupalena) yakni kaomu
tanailandu, kaomu kumbewaha dan kaomu tapi-tapi yang mempersiapkan kader-kader
untuk Jabatan-jabatan eksekutif pada eselon pangka dan kadie. Dalam bahasa adat
disebut ajagani kamborumboru talupalena.
(2) Mengawasi ketimpangan dan penyelewengan serta
kesalahan-kesalahan dari pelaksanaan pemerintahan oleh seluruh lembaga
pemerintahan dalam arti luas meliputi lembaga legislatif, eksekutif dan
yudikatif serta lembaga eksekutif pusat dan daerah. Dalam bahasa adat disebut ajagani karungga sara ogena sara kidhina.
Dalam menjalankan fungsi dan hak-haknya tersebut,
Siolimbona telah menunjukkan efektifitasnya yang sangat gemilang. Hal ini dapat
diketahui dari bukti-bukti sejarah yang menunjukkan betapa banyaknya pejabat
negara yang telah diajukan ke peradilan aparatur negara (Mahkamah Sarana Wolio)
dan mendapatkan hukuman seperti: pasabu
(pemecatan dari jabatan), papasi
(pengasingan), tatasi pulanga
(pencabutan hak-haknya terhadap jabatan-jabatan kenegaraan selama tujuh
generasi) dan gogoli (hukuman mati). Sebagai contoh:
(a) Sultan Buton ke-11 La Tangkaraja Oputa Mosabuna yi
Lakambau Sultan Qa’im ad-Diyn (1669-1680) dipecat dari jabatannya (pasabu) dengan kesalahan membangun
benteng di dataran Lawela sekitar 6 km sebelah selatan ibukota Wolio tanpa
berkoordinasi dengan lembaga legislatif (siolimbona).
(b) Sultan Buton ke-8 La Cila Oputa yi Gogoli yi Liwuto
Sultan Mardan Ali (1647-1654) pada tahun 1654 dihukum mati (gogoli) di pulau Makassar (Liwuto Makasu) dengan kesalahan
melanggar adat dan agama.
Atas nama
rakyat dan negara, maka Dewan Perwakilan Rakyat Siolimbona menjalan tugas dan
peranannya secara profesional serta penuh rasa tanggung jawab dengan cara
mengawasi seluruh penggunaan keuangan negara serta tindak tanduk pemimpin dan
para kawula negara. Betapa menakjubkan, karena Bhonto Ogena yang disimbolkan sebagai istri kedua dari Sultan
setelah Sapati menjalankan tugas
pengawasan secara aktif dan langsung terhadap Sultan, tanpa dipusingkan dengan
pertimbangan kolusi dan nepotisme, sehingga Sultan pun berhasil dipecat dan
bahkan ada yang dihukum mati.
Sementara itu,
bangsa dan negara kita tercinta ini, selain dikitari dengan berbagai macam
problematika kehidupan sosial yang membingungkan, juga secara spektakuler dengan
gilang-gemilang meraih prestasi sebagai negara terkorup yang amat memalukan.
Berbagai lembaga alternatif yang telah didirikan untuk mengontrol dan mengawasi
roda pemerintahan serta memeriksa penggunaan keuangan negara, akan tetapi tak
mampu berbuat maksimal. Kecuali KPK dalam konteks Supremasi Hukum, kini telah
menunjukkan gigi taringnya dalam mengkarangkeng kaum ”bagundalisme” di bangsa dan negara nan merana ini. Sementara
KPU/KPUD sebagai pilar demokrasi vital tampak diwarnai dengan pertontonan ”lucuisme” yang menggelikan, karena boleh
jadi yang terpilih adalah bukan kategori kumpulan manusia reformis.
3. Sistem Pemerintahan dan Pembagian Kekuasaan
Pola dan mekanisme
Pemerintahan Kesultanan Buton dan Pemerintahan Kerajaan Konawe, adalah selain
menggambarkan batas dan ruang lingkup wilayah kekuasaan, juga sekaligus
menunjukkan tingkat stratifikasi sosial masyarakat dengan wewenangnya
masing-masing yang dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab oleh mereka yang
diamanahi. Hal ini semua diterangkan secara komprehensif di dalam sisitem
konstitusi yang pernah berlaku, yakni Undang-Undang Dasar Martabat Tujuh;
Idiologi Negara: Bhioni-Bhioniki Kuli;
Semboyan Nasional Buton: Poramu
Yindaasaangu Pogaa Yinda Akoolota;
Dasar Negara Buton: Man Arafa Nafzahu
Faqad Arafa Rabbahu.
Secara teritorial, wilayah
pemerintahan Kesultanan Buton dibagi atas tiga struktur. Pertama, Sara Wolio atau
keraton merupakan pusat pemerintahan dan pengembangan Islam ke seluruh wilayah
kesultanan yang di dalamnya hanya berhak ditempati atau dihuni oleh 2 golongan
yang berstatus ningrat, yakni golongan kaomu
atau kaumu sebagai keturunan garis
bapak dari pasangan raja pertama; serta golongan Walaka sebagai keturunan menurut garis bapak dari founding fathers kerajaan Buton (mia patamiana) dan sekaligus termasuk
elite penguasa. Dan golongan tersebut ditandai dengan gelar La Ode untuk kaum
laki-laki dan Wa Ode untuk kaum perempuan.
Kedua, empat wilayah kerajaan yang kategori kerajaan kecil
sebagai wilayah bagian dan otonom yang disebut wilayah Barata, yakni Kolisusu, Tiworo, Muna dan Kalidupa. Keempat wilayah
bagian tersebut memiliki pemerintahan sendiri, namun tetap tunduk di bawah
kekuasaan pemerintah pusat di Kraton Wolio yang dipegang oleh golongan kaomu dan walaka sebagai penguasa tertinggi untuk ketiga wilayah itu (wolio, kadie dan barata). Namun Sultan
sebagai penguasa tertinggi kerajaan dibantu oleh beberapa pejabat tinggi di
pusat dan pejabat-pejabat di daerah (Barata)
Ketiga, wilayah kadie sebagai
wilayah perkampungan yang berada di luar kraton wolio yang berjumlah ± 72 kadie) yang dimiliki oleh golongan
penguasa dan dihuni oleh golongan papara.
Secara umum, Menurut Yunus (1995) sistem dan proses birokrasi di Kesultanan
Buton sebagai berikut:
1.
Pangka (pejabat teras (rijksgroten)
atau dewan swapraja yang dijabat oleh
golongan koumu dan walaka, yang terdiri atas: Sapati (kaomu), Kenepulu (kaomu), Lakina Surowolio (kaomu);
2 orang Kopitalao: Kapitalao Sukanayo dan Matanayo (kaomu); dua orang Bonto Ogena
(menteri besar); Bonto Ogena Sukanayo dan
Matanayo (walaka).
2.
Sarana (Dewan) Wolio yang terdiri dari semua bobato (kaomu) dan bonto (walaka).
3.
Siolimbona (sembilan wilayah pemerintahan daerah) dari golongan walaka yang sangat menguasai adat dan
bertugas menjaganya.
4.
Sarana Hukumu,
yaitu badan yang mengurusi dan mengawasi masalah-masalah yang berhubungan
dengan ajaran Islam dan ibadah. Mereka adalah lakina agama, imamu
(imam) dan hatibi (khatib), semua
dari golongan kaoumu.
5.
Staf khusus kesultanan yang meliputi: Bonto Inunca atau staf istana (walaka); Bontona Lencina Kanjawari, yaitu staf khusus yang membantu
tugas-tugas tertentu (termasuk di sini Bonto
Isana dari golongan walaka);
Staf-staf lain yaitu: Juruba (ha) sa
(walaka), Kapita, Sabandara
(syahbandar) (koumu) sebagai otoritas
pelabuhan, Tolombo yang membantu Bonto Ogena (menteri besar) sebagai
penyampai maklumat dan pengumuman penting dari sultan, pangalasan yang bertugas
membantu Bonto Ogena dalam
mengumpulkan pajak (weti).
Dengan demikian, jelas sekali bahwa
sistem Pemerintahan Otonomi Daerah (Otoda) telah lama berlangsung, yakni sejak
masa Kesultanan Buton. Dalam artian, sistem pemerintahan tersebut adalah bukan
hal baru bagi masyarakat Sulawesi Tenggara, bahkan lebih dari itu, mekanisme
dan proses pemerintahan dengan berbagai perangkat keras dan lunaknya terpola
secara struktural fungsional serta berlangsung secara damai dan sejahtera.
Sebaliknya,
Bangsa Indonesia sebagai bangsa kita yang telah merdeka selama ± 62 tahun, masih
tergolong sebagai bangsa yang sedang belajar berdemokrasi, sehingga tidak
mengherankan jika berbagai fenomena tindak tanduk cenderung kebablasan yang
mewarnai perpolitikan kita dewasa ini. Tak pelak lagi, kecenderungan
pragmatisme yang cenderung dilakoni oleh semua komponen masyarakat seolah
menjadi pertontonan yang cukup spektakuler.
Dalam
konstalasi itulah, kaum elite lokal terkesan cukup ambisius dengan mengerahkan
seluruh enersi yang dimiliki dan bahkan cenderung menghalalkan berbagai cara
demi menggapai kursi panas yang meninabobokkan itu. Boleh jadi karena merupakan
impian khusus dan amat indah bagi kaum elite lokal, sehingga bagi mereka yang
telah sukses, akan berupaya maksimal untuk mempertahankannya. Sementara bagi
mereka yang bermaksud untuk merebutnya, tak mau kalah mengembangkan
gebrakan-gebrakan spektakuler. Akibatnya, tentu saja yang terjadi adalah
kehabisan enersi dan waktu untuk membangun dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Mungkin demikianlah salah satu dari gambaran euforia politik daerah
yang selama ini terpasung di bawah panji-panji ”demokrasi otoriter” ala Orde
Baru (rezim Suharto).
Sementara di
tingkat kelas menengah ke bawah hingga di tataran akar rumput, Pilkadasung
dengan berbagai kelebihan dan kelemahannya terdengar menjadi obyek pembicaraan
yang menggelegar di pinggir jalan hingga di warung-warung kopi. Namun ketika
kita mencoba menguping dan menyimak isi pembicaraan, maka tidak lain yang
terdengar adalah seputar biaya pintu, biaya transportasi dan biaya pemasangan
baliho-baliho kandidat yang terkesan kurang mendidik dan penyusunan taktik
serangan fajar sebagai kunci akhir yang sangat menentukan. Ironisnya, bukan
hanya orang-orang cenderung membicarakan Pilkadasung, tetapi semua orang
terkesan cukup cerdas membicarakannya. Namun sayang seribu sayang, agaknya
kecerdasan dimaksud adalah dalam artian nyindir, nyeleneh dan bombastis.
Dalam konteks
inilah, pentingnya semua pihak memahami, menghayati dan mengamalkan sejenis Martabat Tujuh sebagai
Undang-Undang Dasar; Bhioni-Bhioniki Kuli
sebagai idiologi kesultanan; Poramu
Yindaasaangu Pogaa Yinda Akoolota
sebagai semboyan nasional; Man Arafa
Nafzahu Faqad Arafa Rabbahu sebagai dasar negara.
Kenyataan empirik
menunjukkan bahwa berbagai Undang-Undang dan Perpu tentang politik yang telah
dijebolkan oleh lembaga eksekutif bersama legislatif untuk mengatur proses
pemilihan presiden, legislatif dan kepala daerah dengan berbagai perangkat
keras dan lunaknya, termasuk Undang-Undang Parpol dan KPU dengan tupoksinya
masing-masing. Namun yang terjadi di lapangan adalah kecenderungan
menyimpang, mengabaikan dan melanggar koridor-koridor hukum yang telah
digariskan. Yang menjadi solusi kemudian, adalah perlunya Undang-Undang politik
baru, sehingga cukup terkesan bahwa semuanya hanya berlangsung dalam kerangka
uji coba yang penuh tambal sulam.
EPILOG: Kita harus bergegas
menengok kembali untuk menggali dan mewacanakan secara terus menerus potensi
yang inherent atau including di dalam budaya demokrasi
lokal kita. Beberapa di antaranya yang acapkali disentil oleh para ahli
politik, antara lain: Lembaga Ninik-Mamak
di Minangkabau sebagai dapur penyelesaian berbagai masalah yang mengedepan pada
masyarakat sekitarnya. Demikian pula Batassalapanga
di Kerajaan Gowa dan Ade Pitu di Bone
serta Puang dan Tosugi ri Wajo yang selain selaku wadah pemangku kedaulatan rakyat
di wilayah kerajaan dan sekitarnya, juga merupakan pranata sosial yang menjadi
sumber inspirasi talenta dan karakteristik elite dan pejabat kerajaan, sehingga
kehidupan sosial warga masyarakat kondusif, stabil dan sejahtera. Demikian di
wilayah Kerjaaan Konawe dan di Kesultanan Buton masa silam, ditemukan konsep Opitu Dula Batu dan Kalosara serta Martabat Tujuh
dan Sarana Wolio yang secara
struktural fungsional merupakan duplikat peraturan perundang-undangan yang
mengatur roda pemerintahan.
REFERENSI
Editorial Metro Tv, Persekongkolan Tekstual, 31
Oktober 2007.
Hafid, Anwar, dkk., 2015. International
Research Journal of Emerging Trends in Multi disciplinary (IRJETM), Volume 1,
Issue 9 November 2015, Hal. 1 – 15.
Nadjib, Ainun, Emha,1999. Pemilu Politik Kebangsaan,
Zaituna, Yogyakarta
Peribadi dkk, 2015. Developmental Planning Meeting Based On Kalosara Culture (A Study Of Community In Mainland Area Of South
East Sulawesi), International Journal of Scientific Engineering and
Applied Science (IJSEAS), Volume 1, Issue 8 November 2015, Hal. 148 -163.
Piliang, Amir, Yasraf,
1998, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga
dan Matinya Posmodernisme, Mizan, Anggota IKAPI, Bandung.
Suaib, Eka dkk., 2015. Traditional
Leadership And Local Democracy In Konawe Kingdom,
International Journal of Art & Humanity
Science (IJAHS), Volume 2 Issue 6, (Nov-Dec 2015), PP. 96-105, Hal. 96 - 105
Yunus, Rahim, 1995. Posisi Tasawuf Dalam Sistem Kesultanan Buton Abad
ke-19, INIS, Jakarta