Sunday, August 17, 2014

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA YANG KE -69

Tidak terasa negeri kita tercinta Republik Indonesia  kini telah mencapai usia yang ke 69, terhitung sejak peristiwa Proklamasi tahun 1945 yang lalu. Di usia nya yang ke 69 ini Republik Indonesia telah melalui berbagai macam peristiwa sejarah, telah menuai berbagai prestasi, positif maupun negatif dan terus berbenah diri kearah yang lebih baik.
Dalam kurun waktu 69 tahun ini, dapat dilihat dengan jelas republik Indonesia masih jauh dari apa yang dicita2kan oleh para pendahulu (founding father),  Pesimisme dan optimism silih berganti  terus menggelayuti jiwa dan fikiran Anak bangsa akan Indonesia yang makmur dan sejahtera di masa yang akan datang. Namun apapun itu Kemajuan Indonesia adalah tenggung jawab kita semua sebagai warga Negara Indonesia, lebih-lebih kepada genrasi muda yang merupakan penerus  dan tumpuan bangsa Indonesia di masa yang Akan datang.
Di ulang tahun yang ke 69 Republik Indonesia ini ,saya akan bagikan salah satu pidato kemerdekaan dari seorang Pahlawan bangsa, Founding father,dan juga seorang ulama besar yang gigih memperjuangkan Islam dan kemerdekaan bangsa Indonesia  dari cengkraman penjajah belanda dan jepang, dengan berbagai cara. beliau adalah Muhammad Natsir. Pidato ini merupakan sebuah motivasi agar terus berusaha dan berjuang untuk  senantiasa mengisi kemerdekaan yang telah susah payah di raih dan tidak menyia-nyiakanya begitu saja.

DJANGAN TERHENTI TANGAN MENDAJUNG, NANTI
ARUS MEMBAWA HANJUT.

17 Agustus 1951

Hari ini, kita memperingati hari ulang-tahun Negara kita. Tanggal 17 Agustus adalah hari jang kita hormati. Pada tanggal itulah,pada 6 tahun jang lalu, terdjadi suatu peristiwa besar di Tanah Air kita. Suatu peristiwa jang mengubah keadaan seluruhnja bagi sedjarah bangsa kita.
Sebagai bangsa, pada saat itu, kita melepaskan diri dari suasana pendjadjahan berpindah kesuasana Kemerdekaan.Dalam djiwa bangsa kita jang djumlahnja 70 djuta itu, bergemuruh semangat revolusi jang total di-tiap2 pendjuru Tanah Air. Saat kita mulai meletuskan revolusi itu, merupakan suatu keadaan baru, jang sungguh2 luar biasa. Luar biasa menurut pandangan kita sendiri, dan lebih luar biasa dalam pandangan luar negeri. Pada saat itu, seluruhkita madju kemuka dengan tidak pernah melengong kekiri dan kekanan,tak pernah mengingat bahaja dan derita jang akan ditanggung, akibat perdjuangan itu. Kita berdjuang melaksanakan revolusi dan bertempur dimedan pertempuran bergelimang darah, dengan djiwa penuh, semangat
bulat.
Walaupun kita baru mulai mentjoba hidup baru, dan hidup baru itu belumlah merupakan kepastian, karena hebat dan dahsjatnja reaksi musuh untuk membatalkan Proklamasi kita, namun bangsa kita seluruhnja, sudahlah jakin dengan bulatnja, bahwa Indonesia takkan kembali lagi mendjadi negara dan bangsa djadjahan. Kita memandang Proklamasi itu, adalah buah dari kejakinan jang bulat. Tak dapat diganggu-gugat lagi. Ia akan tumbuh dan berakar dan se-lama2-nja akan kita miliki sampai achir zaman. Tak seorangpun diantara bangsa kita jang ragu2, akan kebenaran Proklamasi itu. Kalaupun ada, maka rasanja dapat dihitung dengan djari, ialah dari pihak orang2 jang sebenarnja berdjiwa budak. Karena semangat jang demikian dipunjai dan dimiliki oleh bangsa kita, maka segala kesulitan dapat dihadapi dan diatasi. Semua orang menjediakan dirinja dengan ichlas. Uangnja, harta bendanja, anaknja, suaminja, keluarganja, pendeknja apa sadja jang diminta perdjuangan, dengan ichlas dan tjepat diberikan. Mereka rela memberikan bantuan untuk perdjuangan itu, sampai bersedia memberikan semuanja apa jang ada padanja, hatta djiwanja sendiri ! Mereka tak pernah merasa rugi. Tak pernah merasa kehilangan, tetapi sebaliknja mereka merasa mendapat dan beruntung. Rumahnja dibakar musuh, hatinja gembira, ia merasa beruntung. Harta bendanja habis untuk perdjuangan, ia tertawa senjum ! Mereka kehilangan, tetapi rasa mendapat! Suatu hal jang aneh, tetapi benar telah kedjadian dan kita saksikan.

Perdjuangan revolusi, menimbulkan d jiwa jang besar. Rugi jang tak ter-kira2 dirasakan keuntungan dan kehormatan besar. Semua orang meniadakan dirinja untuk kepentingan masjarakat ! Bangsa Indonesia, merupakan suatu beton jang telah berpadu-satu. Batu dan pasir, semen dan kapur sebagai bagian2-nja, tak pernah lagi kelihatan. Bersatu-padu dalam satu tekad. Tidak ada perbedaan pendirian, perbedaan ideologi, jang kelihatan. Tak ada perselisihan paham antara kaum desa dan kaum kota, antara kaum pergerakan dan kaum pegawai, antara golongan kiri dan golongan kanan. Semuanja bersatu-padu dalam satu ideologi negara, ialah merebut Kemerdekaan dari tangan pendjadjah. Kita melihat bermatjam barisan jang didirikan oleh rakjat jang anggotanja mati dimedan pertempuran untuk mentjapai Kemerdekaan. Kita melihat ulama2 Islam mengeluarkan fatwa perang sabilnja, dan ikut berkuah darah dalam medan pertempuran bersama barisan Hizbullah dan Sabilillah. Dengan sendjata bambu runtjing atau golok belaka, mereka madju kemuka. Tak banjak perundingan, tak banjak perhitungan. Mereka jakin menang. "Walaupun sebenarnja keadaan mereka didalam kelemahan, dipandang dari sudut materiil, tetapi dari sudut djiwa dan moril, tjukup kuat dan perkasa.

Perdjuangan jang dilakukan, tidak punja perhitungan, menurut kemestianstrategi jang biasa dipakai, akan tetapi djustru karena itulah, orang tidak mempedulikan bahaja, dan achirnja sebagai kita lihat, perdjuangan kita mendapat hasil jang sangat memuaskan. Walaupun kesulitan selama pertempuran itu, dirasakan begitu besarnja, dan kurban begitu banjaknja jang kita berikan, baik harta maupun djiwa, tetapi semua itu se-akan2 tidak dirasakan sama sekali. Semua itu didukung oleh satu hasrat, satu Idee-besar, jakni: melepaskan diri dari pendjadjahan untuk mentjapai kemakmuran dan kesedjahteraan rakjat. Buat itulah kita memberikan seluruh kekuatan, kekajaan dan apa jang ada pada kita, dengan ichlas dan sutji.


Kini !
Telah 6 tahun masa berlalu. Telah hampir 2 tahun Negara kita memiliki kedaulatan jang tak terganggu-gugat. Musuh jang merupakan kolonialisme, sudah berlalu dari alam kita. Kedudukan bangsa kita telah merupakan kedudukan bangsa jang merdeka. Telah sedjadjar dengan bangsa2 lain didunia. Telah mendjadi anggota Keluarga Bangsa2. Penarikan tentara Belanda, sudah selesai dari Tanah Air kita. Rasanja sudahlah boleh bangsa kita lebih bergembira dari masa2 jang lalu. Dan memang begitulah semestinja !
Akan tetapi apakah jang kita lihat sebenarnja ? Masjarakat, apabila dilihat wadjah mukanja, tidaklah terlalu berseri2. Seolah2 ni'mat Kemerdekaan jang telah dimiliknja ini, sedikit sekali paedahnja. Tidak seimbang tampaknja laba jang diperoleh dengan sambutan jang memperoleh ! „Mendapat seperti kehilangan". Kebalikan dari saat permulaan revolusi. Bermatjam keluhan terdengar waktu ini. Orang ketjewa dan kehilangan pegangan. Perasaan
tidak puas, perasaan djengkel dan perasaan putus asa, menampakkan diri.
Inilah jang tampak pada saat achir2 ini, djusteru sesudah hampir 2 tahun mempunjai Negara merdeka dan berdaulat. Dahulu mereka girang gembira, sekalipun hartanja habis, rumahnja terbakar atau anaknya tewas dimedan pertempuran, kini mereka muram dan ketjewa sekalipun telah hidup dalam satu Negara jang merdeka, jang mereka inginkan dan tjita2-kan sedjak berpuluh dan beratus tahun jang lampau. Mengapa keadaan berubah demikian ? Kita takkan dapat memberikan djawab atas pertanjaan itu dengan
satu atau dua perkataan sadja. Semuanja harus ditindjau kepada perkembangan dalam masjarakat itu sendiri. Jang dapat kita saksikan ialah
beberapa anasir dalam masjarakat sekarang ini, diantaranja : Semua orang menghitung pengurbanannja, dan minta dihargai. Sengadja di-tondjol2-kan kemuka apa jang telah dikurbankannja itu, dan menuntut supaja dihargai oleh masjarakat. Dahulu, mereka berikan pengurbanan untuk masjarakat dan sekarang dari masjarakat itu pulamereka mengharapkan pembalasannja jang setimpal. Memang tiap2 orang tentu ada andilnja dalam perdjuangan revolusi ini, dalam artian pengurbanan. Harta, tenaga dan keluarga, seperti diterangkan diatas ! Tiap orang merasakan punggung jang tak bertutup, periuk jang tak berisi. Sekarang telah timbul penjakit bachil. Bachil keringat, bachil waktu.

dan meradjalela sipat serakah. Orang bekerdja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnja sekalipun untuk tugasnja sendiri ! Segala kekurangan dan jang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu sadja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinja. Orang sudah mentjari untuk dirinja sendiri, bukan mentjari tjita2 jang diluar dirinja. Lampu tjita2-nja sudah padam kehabisan minjak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa jang akan dibuat ! Kita bertanja kepada umat Islam ! Apakah memang begini jang di-tjita2-kan oleh masjarakat umat Islam, dan apakah memang ini jang dikehendaki oleh bapa dan ibu2 jang telah merelakan anak2-nja berdjuang ? Apakah masjarakat jang begini jang di-idam2-kan oleh umat Islam ? Saudara akan mendjawab: „tidak". Kalau memang tidak, adalah suatu tanda bahwa perdjuangan saudara belum selesai, malah perdjuangan saudara baru mulai. Itu, suatu tanda bahwa musuh saudara belum hilang ! Hanja musuh saudara bertukar rupa dan bertukar tempat. Dahulu musuh diluar menghadapi saudara dengan terang2-an, sekarang musuh jang didalam diri jang meremukkan kekuatan bangsa mendjadi bubuk. Sudahkah turut pula saudara dihinggapi penjakit lesu hingga mulai bersikap masa bodoh terhadap apa jang terdjadi disekeliling saudara ?
Sudahkah saudara turut pula kena penjakit bachil menjingsingkan lengan badju dan bachil mentjutjurkan keringat ? Sudahkah turut tumpul pula perasaan saudara membedakan hak dengan batil ? Sudahkah turut pula saudara „mentjari diri", memperhitungkan djasa dan laba ? Sudahkah turut pula saudara merasa djiwa jang kosong, sunji dari tjita2, jang pada satu saat pernah tjita2 itu mendjadi penggerak bagi segenap pikiran dan anggota badan saudara, mendjadikan saudara dinamis, penuh inisiatif ? Sudahkah saudara beranggapan, tugasku telah selesai dan sekarang ialah zamannja mem-bagi2 laba dari hasil perdjuangan jang telah lalu?

Saudara !

Kalau demikian, saudara telah mulai termasuk pada golongan orang jang mendapat, akan tetapi kehilangan. Saudara baru berada ditengah arus, tetapi sudah berasa sampai ditepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkajuh, arus. jang deras akan membawa saudara hanjut kembali, walaupun saudara terus menggerutu dan mentjari kesalahan diluar saudara. Arus akan membawa saudara hanjut, kepada suatu tempat jang tidak saudara ingini!
Bagi saudara akan berlaku firman Ilahi dalam surat An-Nur, ajat 39 : „Amal mereka ibarat fatamorgana dipadang pasir; disangka oleh musafir jang kehausan sumber air jang sedjuk, tapi demi ia sampai ketempat itu ia tak menemui air setetes djuapun". Saudara akan ibarat musafir dipadang pasir jang terik itu dan tak akan menemui idam2-an, akan tetapi jang akan ditemui ialah hokum Allah sebagai akibat dari pada usaha jang salah-dasar dan tidak mempunjai rentjana.

Maukah saudara terlepas dari pada genggaman arus itu ? Untuk ini perlu saudara berdajung. Untuk ini saudara harus berani mentjutjurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perdjuangan jang terbentang dihadapan saudara, jang masih terbengkalai. Kemiskinan masjarakat di-tengah2 kekajaan alam kurnia Ilahi, kelesuan batin dan kekosongan djiwa dari budi pekerti dan tjita2 jang tinggi, di-tengah2 ketjemerlangan palsu jang menjilaukan mata, bahaja desintegrasi dan kekatjauan jang sedang mengantjam, jang digerakkan oleh tangan jang bersembunji, semua ini merupakan suatu lapangan perdjuangan jang berkehendak kepada ketabahan hati dan keberanian !Perdjuangan ini hanja dapat dilakukan dengan enthousiasme jang ber-kobar2 dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan djalan dengan tjara jang berentjana. Usaha besar jang kita hadapi pada waktu ini, telah pernah kita hadapi dengan kerelaan menerima segenap konsekwensinja. Dan perdjuangan jang terbentang dihadapan kita ini, tidak kurang berkehendak kepada keberanian untuk menegakkan kedudukan bangsa dan falsafah hidupnja, djuga dengan segenap konsekwensinja dengan berupa „keringat, air mata dan darah". Dan djikalau pada saat ini kita bergembira dan kegembiraan itu bersumber kepada rasa bahagia dan kehormatan karena ikut memikul konsekwensi dari perdjuangan, dengan elan dan enthousiasme jang menghiasi djiwa kita bersama, maka perajaan 17 Agustus ini adalah mempunjai arti jang sebenarnja. Itulah hakikatnja jang dinamakan Semangat Proklamasi itu !


Demikian pidato kemerdekaan dari Mohammad Natsir Semoga Allah SWT Senantiasa merahmati beliau, Sekian dan Semoga bermanfaat.