By:
Peribadi dan La Ode Montasir
Kertas Kerja yang dipresentasikan dalam
Forum Seminar
Nasional telaah kritis Tata kelola
Negara dalam Pelayanan Public, 24 November 2018.
Abstrak. Buruknya
pelayanan publik masih menjadi masalah utama yang lazim ditemui dalam sistem
birokrasi di Indonesia. Beragam
kritik dan keluhan yang dilontarkan masyarakat terkait dengan kinerja birokrasi di Indonesia telah menjadi
rahasia publik sejak lama. Trend pelayanan publik dalam sistem
birokrasi di Indonesia lebih menunjukkan pada kondisi empirik yang sangat buruk serta bisa
digolongkan dalam sejenis penyakit (bureau
patology), layaknya Parkinsonian (big
bureaucracy), Orwellian (peraturan yang menggurita sebagai perpanjangan
tangan negara untuk mengontrol masyarakat) atau Jacksonian (bureaucratic polity). Betapa kecenderungan negatif antithesis dengan keberadaannya sebagai hal
yang positif atau
rasional (bureau rationality) sebagaimana diharapkan oleh kaum Hegelian dan
Weberian.
Kata Kunci. Birokrasi, Pelayanan, Publik dan Mantra Hitam
Prolog.
Birokrasi merupakan sarana yang sangat vital dalam menunjang berjalannya sistem
pemerintahan, utamannya yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Berkenaan
dengan ihwal tersebut, maka
birokrasi
mempunyai fungsi dan andil yang sangat besar dalam proses penyelengggaraan Negara.
Secara teoritis birokraksi memiliki fungsi untuk melayani kepentingan
masyarakat dengan sebaik-baiknya yang mampu mengahadirkan kepuasan bagi
masyarakat. Hal itu
ditandaskan oleh Tjiptono
(1996) bahwa pelayanan publik yang prima (service excellence) harus
mengandung empat unsur, yaitu kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan.
Keempat komponen tersebut adalah satu kesatuan yang terintegrasi. Artinya bahwa proses pelayanan publik menjadi
tidak “excellence” apabila ada komponen yang masih kurang. Kualitas jasa
atau pelayanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat. Hal ini pada akhirnya akan menciptakan loyalitas
masyarakat kepada organisasi (institusi). Namun dalam tataran
emprik fungsi pelayanan tersebut diliputi oleh berbagai macam problematika,
diantaranya adalah buruknya sistem dan proses pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat.
Kondisi
tersebut tergambar dalam lambannya proses pelayanan publik, prosedur pelayanan
yang berbelit-belit dan tidak transparan, hingga kian diperparah dengan penyalahgunaan wewenang dan jabatan
serta geliat korupsi yang dilakukan pejabat publik dengan aneka macam modus operandinya. Buruknya pelayanan publik tersebut pada akhirnya
mendorong masyarakat untuk mencari “jalan pintas” dalam menyelesaikan
urusan-urusan yang tersangkut paut dengan birokrasi. Utamanya untuk memperoleh
pelayanan yang baik dan cepat. Karena itu, upaya “jalan pintas’ yang paling
memungkinkan untuk ditempuh masyarakat adalah salah satu melalui sogok atau suap,
sehingga menampilkan sektor pelayanan publik sebagai arena suap menyuap yang telah
tumbuh dan berkembang subur dengan segala konsekwensinya.
Fenomena
suap dalam proses pelayanan publik merupakan salah satu dari sekian jenis
penyimpanagan (patologi) dalam birokrasi.
Tak bisa dipungkiri aktivitas suap dalam proses pelayanan publik semakin
berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Hasil temuan Indonesian Corruption
Watch yang menempatkan Apratur Sipil Negara (ASN) sebagai pelaku utama yang
dominan dalam kasus korupsi di Negeri ini sejak tahun 2010-2016 tercatat
setidaknya sejumlah 3.417 aparatur sipil negara terjerat kasus korupsi di
sejumlah daerah di Indonesia. Kondisi ini juga ditunjukkan oleh laporan The Global Competitiveness Report 2016-2017 yang dirilis oleh
Forum Ekonomi Dunia
bahwa korupsi dan infisensi birokrasi masih menjadi masalah
utama yang menghambat proses investasi
di Indonesi.
Demikian pula yang lain, juga telah menempatkan
Indonesia pada peringkat ke-41 dari 138 negara. Dalam konteks ini, Indonesia berada di bawah negara ASEAN, seperti Singapura,
Malaysia dan Thailand (Nasional kompas, 2017).
Tampaknya, masalah
gratifikasi, suap menyuap dan pungli dalam proses pelayanan publik merupakan
fenomena “gunung es” yang telah mendarah daging dalam sistem birokrasi di
Negeri ini. Dewasa ini aksi suap menyuap tampaknya telah menjadi budaya sehingga
dalam perkembangannya seolah-olah telah dilegitimasi sebagai kewajiban yang
harus ditunaikan dalam rangka untuk memperoleh layanan yang baik dan maksimal. Aneka modus yang digunakan untuk
memaksa klien agar melakukan sogok terus dikembangkan, diantaranya dengan
memperlambat proses pelayanan, mencari berbagai dalih, seperti
kekuranglengkapan dokumen pendukung, keterlambatan pengajuan permohonan, dan dalih
lain berupa kesibukan melaksanakan tugas, sulit dihubungi, atau memperlambat
dengan menggunakan kata-kata “sedang diproses”.
A. Potret Gratifikasi, Suap dan Pungli dalam Sektor Pelayanan
Publik
Korupsi merupakan patologi sosial yang seolah-olah telah
membudaya di Indonesia. Praktik korupsi bisa dikatakan telah menjangkiti dan terjadi
disemua lini kehidupan. Berbagai upaya penanggulangan korupsipun telah dilakukan
baik secara preventif maupun dengan cara represif, namun semua
usaha tersebut belum mampu mencegah dan mengatasi praktik korupsi yang terjadi.
Sektor pelayan publik merupakan merupakan wilayah yang sangat rentan terjadi
korupsi.
Sektor
pelayanan publik yang berada dibawah pengelolaan pemerintah, baik departemen,
lembaga pemerintah non departemen, maupun yang berada dibawah kendali
pengelolaan pemerintah daerah, seperti sektor pelayanan pajak, sektor perizinan,
sektor investasi, pembuatan KTP, SIM, STNK, IMB, transportasi, pembuatan akta,
pembuatan sertifikat tanah, listrik, air, telepon, pos, dan lain
sebagainya merupakan ranah yang rentan untuk terjadinya korupsi. Hal itu disebabkan oleh sektor-sektor
yang amat berkaitan langsung dengan
kepentingan masyarakat. Dalam sektor pelayanan publik terjadi hubungan antar
domain, yakni pemerintah atau birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan,
sektor usaha, dan masyarakat umum. Karena itu,
adalah tidak mengherankan jika beragam
kasus seperti pungutan liar, gratifikasi, dan sejenisnya
kerapkali terjadi. Kondisi
tersebut pada gilirannya menyebabkan birokrasi tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien. Atau birokrasi pada akhirnya hanya
menjadi abdi penguasa yang
siap menghalalkan
segala
cara.
Korupsi sebagaimana digambarkan oleh
Larmour (dalam Fakhturi, 2017) menjauhkan
diri dari tipe ideal sebuah
negara yang
semestinya harus memenuhi fungsi-fungsi keadilan dalam pelayanan
publik (the fairness of public service), persamaan
terhadap masyarakat (the
equality of society), dan kemerdekaan dalam kompetisi ekonomi (the
freedom for
economic competition)
Korupsi, kolusi, dan nepotisme pada hakikatnya timbul dari proses interaksi antar aktor dalam domain yang berbeda, misalnya interaksi yang terjadi antara aparat pemerintah dengan
pengusaha. Sebagai akibat dari proses
intraksi tersebut lahirlah KKN yang diantaranya
berupa gratifikasi atau penyuapan atau sogok yang kadangkala disamarkan sebagai hibah, hadiah atau sebagai ucapan terimakasih
dan cara-cara lain yang tidak dapat di pertanggungjawabkan, sehingga kesemuanya menimbulkan
biaya ekonomi yang tinggi (high
cost economy).
Fenomena gratifikasi dan suap atau bahkan pungli yang semakin hari kian menunjukkan
potret yang semakin suram dan semakin menggerus ketidak percayaan masyarakat
terhadap para pejabat publik, harus dipahami sebagai maslah yang melibatkan dua pihak secara
timbal balik atau resiprokal.
Secara bahasa baik gratifikasi dan
suap ataupun pungli memiliki definisi yang berbeda. Akan tetapi
dalam tataran empirik ketiga hal tersebut seringkali tidak bisa dipisahkan
karena dalam implementasinya
ketiganya mempunyai kesamaan subtansi yaitu berlaku prinsip simbiosis mutualisme dalam aspek pemberian
stimulus dan respon antara aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Praktik
grafikasi sangat lumrah ditemukan di kantor-kantor.
Fenomena pemberian tip atau amplop pada pertugas dalam
proses pelayanan publik kerap kali ditemukan. Hal ini dilakukan guna memperlancar
setiap urusan yang terkadang sengaja dibuat lamban dan berbelit-belit.
Posisi masyarakat yang lemah kerapkali dijadikan sasaran empuk oleh oknum
petugas yakni sebagai objek bagi praktik
curang di sektor pelayanan publik. Oknum petugas acapkali bermain dengan memeras oknum masyarakat yang
berurusan dengan birokrat. Jika tidak
demikian, maka kerap kali masyakat tidak akan memperoleh pelayanan yang semestinya, sehingga mereka mau memberikan “amplop” atau janji tertentu kepada oknum petugas. Jika ada diantara oknum masyarakat atau pelaku usaha yang melakukan penolakan terhadap praktik suap dan sejenisnya, biasanya mereka akan menanggung risiko sebagai akibat dari hal tersebut seperti tidak mendapat pelayanan
yang simpatik, prosedur yang berbelit-belit sehingga terasa dipinpong kesana
kemari, rugi waktu, rugi tenaga dan rugi biaya atau bahkan kalah dalam persaingan bisnis.
Keluhan yang sama juga dilayangkan pada proses
pelayanan publik yang
bersentuhan dengan aparat penegak hukum, utamanya pihak kepolisian, dan kejaksaan. Yang mana berbagai kasus praktik jual beli hukum dan
keadilan kerap kali terjadi, sehingga kondisi tersebut mengakibatkan masyarakat menjadi bersikap
apriori dan skeptis ketika berurusan
dengan aparat penegak hukum. Begitu sulit bagi masyarakat
kecil untuk memperoleh akses keadilan, tanpa embel-embel gratifikasi dan amplovisme, apalagi ketika dihadapkan dengan kasus hukum dengan oknum pejabat, atau orang berduit. karena faktanya kerap kali hukum seolah tidak berdaya ketika
berhadapan dengan uang dan
kekuasaan.
Lebih jauh
fenomena suap dalam proses pelayanan publik dapat ditelusuri secara kasuistik
melalui media massa atau laporan masyarakat. Berdasarkan fakta empirik kasus
suap dalam proses pelayanan publik dapat diidentifikasi terjadi pada lingkup
kelas “esek-esek” sampai dengan kelas elit yang melibatkan oknum pejabat teras
dan kepala daerah dengan nominal yang sangat fantastis. Beberapa contoh kasus dapat dilihat pada rangkuman dari berbagai upaya suap di berbagai daerah yang dirilis oleh berbagai media lokal dan nasional berikut ini:
1. Kasus suap
yang melibatkan tiga orang pegawai dari
Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, metodenya dengan membantu wajib pajak
menghindari pajak. Caranya, ketiga pegawai pajak itu mendekati wajib pajak yang
menunggak pajak. Setelah itu, mereka mulai menawari para wajib pajak untuk
dihapuskan tunggakannya, namun harus memberikan sejumlah uang atau persenan
kepada ke tiga pegawai pajak itu (Kaskus, 2015)
2. Kasus
yang melibatkan oknum pegawai direktorat
Jenderal (Ditjen) Pajak berinisial JJ oknum pegawai pajak berinisial JJ
tersebut telah menerima gratifikasi
sebesar Rp14,1 miliar dalam penjualan faktur pajak. Dan sebelumnya, penyidik
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) juga menahan eks-pejabat
Kantor Pelayanan Pajak Madya Gambir, AP tersangka dugaan korupsi penerimaan
gratifikasi, hadiah atau janji dalam pengurusan pajak (hukumonline.com, 2017).
3. Kasus
yang menjerat dua pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Malang
kedua orang tersebut berinisial Agus dan Anis, keduannya merupakan Kasi
Pengadaan Tanah dan, Kasi Penataan Pertanahan. Modus yang kerapkali di lakukan
oleh kedua oknum pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi tersebut adalah mematok biaya kepengurusan
sertifikat rumah dan tanah hingga Rp 400.000. Padahal menurut Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) biayanya hanya Rp 50.000. Mereka
memanfaatkan seorang pemohon yang sedang mengurus 75 berkas sertifikat. Setelah
berkas itu rampung dicetak, mereka menagih uang Rp 20 juta ke pemohon
itu.
4. Kasus gratifikasi yang menjerat Kepala Subseksi
Pemeliharaan Data Pertanahan BPN Kota Semarang, WR. Yang mana bersama tersangka
berhasil ditemukan barang bukti berupa
Uang dengan jumlah total sekitar Rp 598 juta yang diamankan dari 125 amplop
yang berada di laci meja kerja, kos, mobil, dan tas milik tersangka. Besaran
jumlah uang dalam amplop itu pun berbeda-beda (inikata.com, 2017)
5. Kasus
yang menjerat salah satu oknum pegawai kelurahan Gandaria Utara. Dalam kasus
tersebut pelaku diketahui melakukan pungli kepada warga, terkait dengan
pengurusan sertifikat rumah. Pelaku memeras warga dalam proses pengurusan
tersebut hingga mencapai 8 juta rupiah. Dengan dalih sebagai biaya pengurusan
dokumen dan alasan-alasan lain yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Anehnya
dalam proses transaksi oknum pegawai tersebut tidak menyediakan tanda terima
dalam bentuk apapun (Kompas.com, 2018).
6. Kasus
pungli oknum Lurah Paninggilan kota
tanggerang modusnya yaitu sang lurah memudahkan pengurusan surat menyurat dan
penandatanganan berkas tanah. Dengan cara itu, ASN ini mengantongi uang pungli
PTSL mencapai Rp 900 juta (radartegal.com, 2018)
7. Kasus
pungli Seorang oknum pegawai Perusahaan Air Minum
Daerah (PDAM) Tirtalihou bersinial ES, ia meminta uang dalam pemasangan baru
instalasi air dirumah warga, yang seharusnya gratis, atas aksinya tersebut ES
berhasil mengantongi uang warga hingga 11 juta rupiah (medanbisnisdaily.com,
2018).
8. Kasus
pungli yang menjerat Seorang oknum
Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai honorer di Unit Pelayanan Tekhnis Dinas
(UPTD) Pasar Palabuhanratu, Sukabumi Jawa Barat berinisial DR dan SA. Kedua
pelaku melakukan pungli kepada pedagang pasar dengan meminta uang dengan
jumlah yang bervariasi. pungutan
tersebut dilakukan dengan dalih untuk
keamanan dan kebersihan, uang itu di luar restribusi sebesar Rp 2.000 per ruko
dan per pedagang kaki lima (news.detik.com, 2016).
9. Kasus
yang yang melibatkan pegawai
negeri sipil (PNS) Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Depok. para pelaku kedapatan
meminta pungutan kepada sopir angkot melebihi tarif retribusi angkot. Jumlah
pungutan yang mereka minta bervariasi mulai dari 20 ribu hingga 40 ribu rupiah
perharinya (liputan6.com, 2017).
10. Kasus pungli yang menjerat oknum aparatur sipil
negara (ASN) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi, berinisial DS, Oknum pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan
Sipil (Disdukcapil) itu diciduk dalam operasi tangkap tangan (OTT) Polres
Sukabumi Kota saat meminta sejumlah uang kepada warga yang sedang mengurus
pengambilan KTP (kompas.com, 2018).
Demikianlah sekelumit problematika suap dan pungli dalam
proses pelayanan publik yang ada dinegeri ini. Sesungguhnya beberapa kasus tersebut hanya sebagian kecil dari sekian banyak kasus
suap dan pungli yang terjadi, namun belum atau tidak terungkap ke publik. Tingginya kasus suap dan pungli masih
menjadi potret buram sektor pelayanan publik di Negeri ini. Terlepas dari berbagai
usaha dan upaya yang dilakukan dalam rangka untuk mengatasi masalah tersebut,
kondisi ini menunjukan bahwa usaha pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam
menangani persoalan korupsi utamanya suap dan pungli pada sektor pelayanan
publik terkesan belum maksimal jika tidak ingin dikatakan gagal.
Unit-unit kecil yang ditugaskan untuk memberantas korupsi
dalam sektor pelayanan publik tampaknya tidak mampu menjangkau semua lini yang
terindikasi telah terjadi korupsi. Kondisi tersebut disebabkan karena masalah
korupsi dan segala turunannya baik suap dan pungli telah membudaya dan menggurita dalam sektor
pelayanan publik.
Telah menjadi rahasia
umum bahwa di banyak instansi pelayanan publik milik pemerintah seolah tidak
ada lagi meja yang terbebas dari praktik suap, sementara rangkaian meja yang
ditelusuri kerapkali teramat sangat panjang, sehingga dapat dibayangkan
berapa banyak uang suap yang dikeluarkan untuk memperpendek pelayanan birokrasi
tersebut. Atau bagi masyarakat yang enggan berurusan dengan birokrasi tersebut,
terkadang lebih memilih untuk menyelesaikan urusannya melalui perantaraan calo.
Tak bisa dipungkiri walaupun pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dengan segala
perangkatnya pendukungnya, seperti Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK), Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), dan Tim
Pemburu Koruptor, tetap saja korupsi utamanya di sektor pelayanan publik tumbuh,
berkembang semakin merajalela, bahkan semakin bertambah parah.
B. Simpulan: Urgensi Revitalisasi Di Sektor Pelayanan Publik
Jika ditelusuri lebih
dalam, problematika di sektor pelayanan publik memamiliki akar masalah yang
sangat kompleks. Upaya penanggulangan korupsi disektor pelayanan publik
tentunya tidak bisa dilakukan dengan setengah hati. Pada tataran aplikatifnya, dibutuhkan
seriusan dan kerja keras dari pihak pemerintah selaku pengambil kebijakan utamanya
dalam aspek penegakan supremasi hukum
yang tegas dan tidak pandang bulu. Disamping itu juga dibutuhkan
kesadaran dari semua pihak untuk mencegah, melaporkan atau bahkan menghentikan
paraktik-praktik tersebut, oleh karena itu perlu dibangun sinergitas dan
kerjasama yang apik antara pemerintah dan masyarakat guna mensukseskan usaha
tersebut. Kesimpulnnya bahwa dalam upaya penanggulangan masalah korupsi di
sektor pelayanan publik pemerintah harus memaksimalkan fungsi dominasi dan
hegemoni secara aktual tentunya dengan tidak merugikan pihak-pihak yang tidak
bersalah. Untuk mengatasi masalah korupsi utamanya dalam bentuk suap dan sejenisnya
perlu diberlakukan sanksi yang tegas kepada kedua belah pihak yakni pemberi
suap dan penerima suap.
Sesuai dengan
kompleksitas akar permasalahan, maka seharusnya banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mencegah dan mengatasi praktik suap di sektor pelayanan publik
diantaranya adalah:
a. Usaha Preventif
Pertama, pencegahan korupsi di sektor pelayanan
dapat dilakukan dengan menciptakan pelayanan yang berkualitas, pelayanan berkualitas yang dimaksud
adalah pelayanan yang mengutamakan transparansi, akuntabilitas, tidak
berbelit-belit dan memiliki patokan biaya yang pasti dan terjangkau khususnya
oleh masyarakat kurang mampu.
Kedua Pelayanan dalam sektor pelayanan publik harus di buat semudah mungkin.
Untuk menghindari praktek percaloan. Usaha ini dapat dilakukan dengan cara
memaksimalkan fungsi pelayanan melaui Internet. memaksimalkan pelayanan melalui
ranah digital sangat evektif apalagi masyarakat indonesia di kenal sebagai masyarakat
dengan intensitas dunia maya yang sangat tinggi Melebihi Negara Amerika Serikat.
Ketiga, pemerintah khususnya pihak-pihak terkait harus melakukan sosialisasi secara
proaktif kepada masyarakat terkait prosedur pelayanan yang benar, usaha ini bisa
dilakukan secara langsung dengan melakukan kunjungan langsung kemasyarakat, sosialisasi
melaui media cetak dan media elektronik
atau memaksimalkan media sosial, blogging atau website yang dapat
diakses oleh siapapun.
Keempat memaksimalkan fungsi pengawasan
internal dengan cara mengadakan
kesepakatan dan kerjasama dengan lembaga pengawasan yang disokong oleh pemerintah seperti misalnya Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK).
Kelima untuk mencegah terjadinya penyelewangan dengan
membentuk dan memaksimalkan fungsi unit-unit yang bertugas dalam menerima
laporan serta keluhan yang terkait dengan indikasi pelanggaran di sektor
pelayanan publik yang ditemukan oleh masyarakat.
Keenam Sekaliwaktu, unsur pimpinan perlu melakukan insepeksi
mendadak guna untuk melihat kinerja bawahannya sekaligus menanyakan prosedur
dan keluhan dalam pelaksanaan pelayanan
publik kepada masyarakat.
b.
Upaya
Kuratif
Upaya kuratif
merupakan upaya penindakan langsung, yang mana upaya ini dapat dilakukan jika
masalah suap atau pungli telah terjadi dan telah melalui proses pembuktian, maka
pemberian sanksi tegas, dalam bentuk pemecatan secara tidak terhormat, pemiskinan,
pengucilan, pencabutan hak politik dan
pemberian sanksi hukum yang tegas.
DAFTAR PUSTAKA
Fandy Tjiptono, 1996, Manajemen Jasa,
Penerbit Andi, Yogyakarta.
Fatkhuri. 2017. Korupsi Dalam Birokrasi dan Strategi
Pencegahannya. Jurnal Ilmiah Manajemen Publik dan Kebijakan Publik
Vol 1, No 2 (2017).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Sumber Internet